Sabtu, 04 Juli 2009

Masalah Gender Di Indonesia

Isu gender merupakan sesuatu yang menarik untuk di bahas dalam skala internasional maupun nasional,namun saya akan berceloteh tentang gender di Negara tercinta ini. Opini publik tentang wanita dalam sejarah masyarakat, kapan dan dimanapun selalu terdapat kelas yang bersifat meremehkan martabat wanita dan memandangnya sebagai hamba kelas dua setelah kaum pria. Program peningkatan peranan wanita di Indonesia merupakan refleksi dan perwujudan dari proses emansipasi wanita tertuang dalam surat-surat Kartini melalui bukunya "Habis Gelap Terbitlah Terang” dalam menuju kesetaraan antara wanita dan pria. Jalan menuju kemitraan antara wanita dan pria merupakan jalan panjang yang sejak jaman RA Kartini sampai jaman Presiden Megawati memimpin negara Indonesia, juga sampai pada jaman Dr. Meutia Hatta menjabat sebagai menteri pemberdayaan perempuan di era kabinet presiden SBY saat ini, masih merupakan jalan yang panjang yang tidak mudah ditempuh.
Di Indonesia wanita mulai dilihat perannya dalam hubungan interaksi dengan keluarga bahkan lingkungan pembangunan yang lebih luas. Dalam GBHN sebagai acuan pembangunan telah mengamanatkan peningkatkan kedudukan dan peran wanita dalam pembangunan ini sejak tahun 1978. Dalam GBHN 1993 program peningkatan kedudukan dan peran wanita dalam pembangunan jangka panjang tahap II (PJPT II) diarahkan pada sasaran umum yaitu meningkatkan kualitas wanita dan terciptanya iklim sosial budaya yang mendukung bagi wanita untuk mengembangkan diri dan meningkatkan perannya dalam berbagai dimensi kehidupan berkeluarga, berbangsa dan bernegara. Kita menyadari bahwa setiap kebijaksanaan dan strategi yang diterapkan dalam pelaksanaan pembangunan tidak selalu memiliki dampak , manfaat akibat
yang sama terhadap pria dan wanita. Kesenjangan antara wanita dan pria dalam berbagai bidang pembangunan dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Wanita sebagai tenaga kerja memperoleh lapangan kerja yang terbatas daripada pria, juga dari segi upah atau gaji yang diterima lebih rendah daripada pria.
Isu gender merupakan isu yang relatif baru bagi masyarakat sehingga seringkali menimbulkan berbagai penafsiran dan tanggapan yang sering kurang tepat tentang gender. Pemahaman mengenai gender menjadi sesuatu yang sangat penting artinya bagi semua kalangan, baik dalam pemerintahan, swasta, masyarakat maupun keluarga. Melalui pemahaman yang benar mengenai gender diharapkan secara bertahap diskriminasi perlakuan terhadap perempuan dapat diperkecil sehingga perempuan dapat memanfaatkan kesempatan dan peluang yang diberikan untuk berperan lebih besar dalam berbagai aspek kehidupan.
Karena di Indonesia dan dinegara-negara lain dibelahan dunia sana masih terjadi kondisi yang disebut dengan ketidakadilan gender. Kita ambil contoh lain dalam bidang pendidikan. di Indonesia perempuan masih sering dinomorduakan, terutama pada lingkup keluarga di pedesaan atau di kalangan masyarakat yang lemah dalam status ekonominya.
Dengan tingginya biaya pendidikan dan terbatasnya dana yang tersedia, anak perempuan seringkali mendapat tempat kedua setelah anak laki-laki, dalam hal melanjutkan pendidikan tinggi. Dengan anggapan bahwa laki-laki akan menjadi penopang keluarga, pencari nafkah utama maka dia harus mempunyai tingkat pendidikan lebih tinggi dari perempuan. Anggapan seperti ini bukan saja hanya merugikan perempuan, tetapi juga memberikan tekanan dan tuntutan yang luar biasa berat pada laki-laki. Laki-laki dituntut harus kuat, harus pandai, harus mempunyai pekerjaan yang bagus dan sederet kata ‘harus’ lainnya, sebagai ‘konsekuensi’ dari pandangan masyarakat yang menempatkan mereka pada kedudukan lebih tinggi daripada perempuan. Sementara itu, perempuan yang dianggap nomor dua dan tidak begitu penting dalam peran sosialnya di masyarakat, perlahan-lahan akan semakin tertinggal dan tidak bisa berkontribusi banyak terhadap prosesproses pembangunan yang berkembang di lingkungannya. Tidak heran, jika sampai saat sekarang ini, pembangunan di negara kita masih jauh tertinggal dibandingkan negara-negara maju lainnya yang relatif lebih sedikit memiliki sumberdaya. Salah satu sebabnya adalah sumberdaya manusia yang produktif dan dapat menyumbangkan kemampuannya untuk kemajuan negara, masih sangat terbatas jumlahnya.
Hasil survei BPS tahun 2000 diketahui bahwa jumlah perempuan di Indonesia hampir setengahnya (49,9%) dari jumlah penduduk lakilaki (50,1%). Dari jumlah tersebut, pada tahun 2000 terdapat 14,54% perempuan yang buta huruf (dibandingkan laki-laki 6,87%) dan sebesar
12,28% pada tahun 2003 (dibandingkan dengan laki-laki 5,48%).
Sebagai akibat langsung dari penomorduaan (subordinasi) posisi perempuan serta melekatnya label-label atau citra baku pada diri perempuan (stereotype), perempuan tidak memiliki peluang, akses dan kontrol seperti laki-laki dalam penguasaan sumber-sumber ekonomi. Dalam banyak hal, lemahnya posisi seseorang dalam bidang ekonomi mendorong pada lemahnya posisi mereka dalam pengambilan keputusan. Lebih jauh hal ini akan berakibat pada terpinggirkan atau termarginalkannya kebutuhan dan kepentingan pihak-pihak yang lemah tersebut, dalam hal ini adalah perempuan.
Di kantor-kantor, staf perempuan sulit mendapatkan posisi pengambil keputusan. Perempuan dianggap masih tidak mampu untuk melakukan tugas-tugas penting dan serius seperti menangani proyek-proyek pembangunan. Perempuan juga belum berpartisipasi aktif dalam perencanaan program program pembangunan di daerah. Fenomena seperti ini umum terjadi dalam tubuh instansi pemerintahan, baik skala nasional maupun daerah. Staf perempuan yang terlibat dalam struktur kepengurusan atau pengelolaan sebuah proyek, mereka cenderung sulit mendapatkan posisi pengambil keputusan proyek. Kebanyakan, staf perempuan lebih berfungsi sebagai ‘peran pembantu’, misalnya untuk mencatat hasil rapat, mengetik laporan, dan peran lainnya yang tidak memungkinkan mereka untuk mempunyai akses dan kontrol langsung terhadap proses pengambilan keputusan. Dalam lingkup masyarakat tradisional seperti yang ada di banyak tempat di Indonesia, kondisi perempuan yang terpinggirkan dianggap lumrah dan biasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar