Sabtu, 04 Juli 2009

LIngkungan Hidup



Istilah lingkungan hidup seringkali digunakan secara silih berganti dalam pengertian yang sama, sekalipun arti lingkungan hidup dapat diberi batasan yang berbeda-beda. Masalah lingkungan telah ada dihadapan kita berkembang sedemikian cepatnya, baik di tingkat nasional maupun internasional (global dan regional) sehingga tidak ada satu negara pun dapat terhindar daripadanya. Setiap keputusan yang diambil terhadapnya menyangkut kehidupan setiap anak yang lahir kemudian. Hanya ada satu dunia dan penumpangnya adalah manusia seutuhnya.
Manusia merupakan mahluk paling penting dalam biosfer (daerah dimana terdapat makhluk hidup), namun tidak dapat dipungkiri peranan manusia terhadap lingkungan semakin dipertanyakan karena mengalami pergeseran. Dalam kaitan dengan hak atas kebebasan (tentu saja ada perbedaan yang mencolok antara hak atas kebebasan pada manusia dan mahluk hidup lainnya) mahluk hidup lain mempunyai hak atas kebebasan, paling tidak kebebasan untuk bergerak secara fisik sesuai dengan dorongan nalurinya.
Mengikuti Pertemuan Lingkungan Hidup Tingkat Dunia (Earth Summit) di Rio de Janiero 1992, Steve Lerner menghabiskan waktu 4 empat tahun untuk mencari orang-orang yang ia sebut "pemimpin hijau" (eco-pioneers) yaitu kepanduan modern yang bekerja pada tradisi pragmatis orang-orang Amerika untuk mengurangi kerusakan lingkungan yang berjalan cepat. Lerner mengajukan wajah manusia pada retorika Earth Summit, menemukan bahwa pembangunan berkelanjutan sesungguhnya terlihat seperti yang ada di Amerika Serikat. Ia melakukan studi kasus tentang "kepemimpinan hijau" yang menemukan cara-cara berkelanjutan dalam pembalakan hutan, menanam tanaman pangan, menyelamatkan spesies tumbuhan, mengelola peternakan, membangun rumah, membersihkan kota, menata ulang komunitas pedesaan, membangkitkan energi, mengonservasi air, melindungi sungai dan kehidupan liar, mengolah limbah beracun, memakai ulang material, serta mengurangi konsumsi dan limbah. Mereka bersama-sama mengkreasikan cara hidup dan bekerja, yang dipercaya oleh banyak analis adalah esensial untuk ekologi berkelanjutan di masa mendatang.
Environmentalisme (faham yang mengatakan bahwa dasar utama pembentukan pribadi seseorang adalah faktor lingkungan pergaulan) menemukan kejayaannya saat Soeharto berkuasa di Indonesia, Mahatir di Malaysia, Marcos di Filipina, Margaret Taccher di Inggris, Reagen di Amerika. Environmentalisme menjadi kekuatan penghambat kerja neoliberalisme di jaman itu. Sekalipun kejayaan kaum enviromentalis di masa itu juga tidak cukup membuktikan dapat mempertahankan kawasan hutan hujan tropis di Brazil, Indonesia, dan beberapa negara di daratan Afrika untuk tidak menyusut (saat ini Indonesia hanya memiliki kurang lebih 70 juta hektar kawasan yang berhutan, coba bandingkan dengan kondisi 10 tahun lalu).
Perubahan iklim bisa menjadi pertanda bagi masa akhir dari paham environmentalisme. Environmentalis, sebutan bagi insan yang sangat menjunjung tinggi keberlanjutan dan kelestarian lingkungan hidup. Non governmental organisation atau sering kita sebut ornop (organisasi non pemerintah), kini alias civil society organization lebih banyak bekerja di bidang-bidang lingkungan hidup, pengelolaan sumberdaya alam dan kemiskinan, HAM dan keanekaragaman hayati. Kelompok pecinta alam di berbagai universitas atau perguruan tinggi menjadi kelompok yang merintis organisasi non pemerintah yang bergerak dalam isu penyelamatan lingkungan hidup dan pengelolaan sumberdaya alam. Sebut saja semisal sejarah perjalanan WALHI, WWF (Indonesia),dan Greenpeace (Internasional), adalah trend gerakan baru bagi generasi yang "tidak percaya gerakan politik praktis" dalam membangun perubahan sosial yang maju. Environmentalisme, menyebar ke seluruh penjuru dunia setelah generasi "gemar perang" memporak-porandakan dunia. Enviromentalisme berkembang setelah perang dunia kedua berakhir. Dalam perkembangannya, paham penyelamatan lingkungan beragam aliran. Yang cukup terindentifikasi jelas ada dua aliran, pro-ecology ansih dan pro-people ansih. Dulu, sering terdengar ekspedisi-ekspedisi bebas soal kecintaan terhadap alam dan lingkungan. Tak jarang, di beberapa organisasi pecinta alam kampus ditemukan catatan-catatan ekspedisi penyelamatan ekosistem tertentu. Begitu pun dengan aktivitas-aktivitas pro-people melalui pendekatan pembangunan berwawasan penyelamatan lingkungan, dan demokratisasi pengelolaan sumberdaya alam.
Jika kita melihat kenyataan yang ada di negeri ini sangatlah ironis,hal itu terlihat tatanan lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan Indonesia berada di ambang kehancuran akibat over-eksploitasi selama 32 tahun. Berlakunya otonomi daerah dengan tidak disertai tanggung jawab dan tanggung gugat dari pelaksana negara, rakyat semakin terpinggirkan dan termarjinalkan haknya, sementara perusakan lingkungan dan sumber kehidupan berlangsung di depan mata. Keadaan ini kian memburuk seiring dengan reformasi yang setengah hati. Isu dan permasalahan lingkungan dan sumber kehidupan tidak menjadi perhatian serius para pengambil kebijakan. Akibatnya, korban akibat konflik dan salah urus kebijakan terus bertambah dan yang lebih menyedihkan sebagian besar adalah kelompok masyarakat yang rentan.
Salah urus ini terjadi akibat paradigma pembangunanisme dan pendekatan sektoral yang digunakan. Sumber-sumber penghidupan diperlakukan sebagai aset dan komoditi yang bisa dieksploitasi untuk keuntungan sesaat dan kepentingan kelompok tertentu, akses dan kontrol ditentukan oleh siapa yang punya akses terhadap kekuasaan. Masalah ketidakadilan dan jurang sosial dianggap sebagai harga dari pembangunan. Pembangunan dianggap sebagai suatu proses yang perlu kedisplinan dan kerja keras, dan tidak dipandang sebagai salah satu cara dan proses untuk mencapai kemerdekaan.
Sumber penghidupan dilihat dari nilai ekonomi yang bisa dihasilkan, sumber daya hutan disempitkan menjadi kayu, sumber daya laut hanya ikan dan sebagainya. Sumber-sumber kehidupan tidak pernah dilihat sebagai sumber penghidupan yang utuh dimana fungsi ekologi, sosial, ekonomi dan budaya melekat padanya. Akibatnya pendekatan yang digunakan dengan kerangka eksploitasi tersebut, maka negara menghegemoni rakyat dalam pengaturan sumber-sumber kehidupan. Peningkayan atau perkembangan konflik yang terkait dengan sumber-sumber penghidupan belakangan ini menjadi contoh nyata dari salah urus yang terjadi.
Menyadari kondisi yang semakin kritis tersebut, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) mengkaji kebijakan pengelolaan sumber-sumber kehidupan yang ada. Kajian tersebut difokuskan pada kebijakan nasional yang terkait dan seting kelembagaan yang ada saat ini. WALHI juga mengusulkan prasyarat kebijakan dan kelembagaan yang harus ada untuk mewujudkan pengelolaan sumber penghidupan yang lebih baik.
Mamasuki awal abad 21, negara-negara di daratan Asia Tenggara semisal Indonesia, Myanmar, Kamboja, Thailand, Malaysia, Filipina, tak terelakkan oleh krisis keuangan/ekonomi. Ilmu ekonomi dianggap telah mati, mekanisme pasar, peran kapital, peniadaan bea dan cukai serta pajak tidak dapat dikontrol. Krisis ekonomi berdampak kepada krisis politik, para pemimpin "tangan besi" di negara tersebut rontok. Instabilitas ekonomi sekaligus instabilitas politik. Reformasi dan gerakan yang serupanya di Indonesia dan negeri selingkupnya telah mendorong environmentalisme menemukan jalan buntu penyelesaian kasus-kasus kehancuran lingkungan yang semakin tidak terkontrol, terlepas sebagian gerakan ini terbuai asyik-masyuk ke jalur penegakan demokratisasi politik kekuasaan.


Illegal logging, pencemaran pantai dan laut oleh pertambangan, pemicu investasi baru di sektor perkebunan besar dan pembukaan ijin eksplorasi minyak dan gas oleh swasta asing, BUMN diprivatisasi menjadi swasta-swasta joint investment, konversi besar-besaran kawasan hutan, kota-kota kesulitan buang sampah, dll. Environmentalisme jalan dalam dua simpang gerakannya, "Politik Kekuasaan" dan "Politik Anggaran". Sementara di sisi lain, ekonomi dunia menyeret lingkungan hidup menjadi komoditas baru dalam perdagangan dunia (bisnis karbon utara-selatan).
Enviromentalisme belum tuntas menjadi gaya hidup, kini hancur pindah menjadi makna ekonomis. Dunia kembali dihebohkan oleh tiga hal klasik, energi alternatif non minyak bumi, perubahan iklim, kekurangan pangan dan kemiskinan. Ketiganya bertumpu kepada pengelolaan kawasan hutan dan soal dampak lingkungan hidup yang sedari dulu tidak bisa diminimalisir. Tiga hal ini membawa kabar buruk, dunia akan segera kiamat, 20 tahun ke depan makhluk hidup akan banyak mati (ecocide). Cadangan minyak Indonesia tidak bisa bertahan hingga 10 tahun ke depan, hingga perlu perubahan kebijakan pemanfaatan energi non-migas, berbondong-bondong hutan dibuka menjadi kebun sawit sebagai ladang untuk pengembangan biosolar. Beberapa pulau kecil di dunia dan sebagian negara maju dan makmur di Eropa, Asia dan Amerika akan tenggelam oleh mencairnya es di kutub utara dalam 1-2 dekade mendatang. Kawasan-kawasan berhutan di negara-negara selatan (kaya hutan tapi miskin) dibeli agar masih tetap mempertahankan kawasannya menjadi paru-paru dunia. Sementara, ketiadaan lahan dan hutan bagi kehidupan masyarakat adat dan lokal yang tinggal sekitarnya semakin miskin (30% penduduk miskin dari 40% angka kemiskinan menurut Bank Dunia adalah mereka yang tergantung dan tinggal di sekitar hutan), tidak mungkin tidak akhirnya kelompok manusia pinggir hutan ini menjadi manusia langka (punah mengalami homicide).
INGO, Indonesia NGO forum atau Indonesia CSO Forum (5.000 kursi dalam pertemuan COP13 di awal Desember 2007, di Bali), apa yang bisa dilakukan agar kiamat 20 tahun lagi tidak terjadi? Lobby dan kampanye adalah jalan yang mungkin bisa dilakukan di pertemuan tersebut. Apa yang bisa dilakukan oleh 5.000 orang untuk memperlambat terjadinya kiamat 2 dekade mendatang, sementara enviromentalisme mulai runtuh dan membangkitnya Teccherisme dan Reagenisme dalam politik lingkungan mutakhir? Jangan sampai 5.000 environmentalis datang ke Bali hanya untuk menyumbang emisi karbon yang justru mempercepat terjadinya kiamat oleh perubahan iklim.






1 komentar:

  1. adakah cara untuk menghentikan kerusakan lingkungan ini. mengingat akibat dari kerusakan lingkungan ini berdampak terhadap masalah lingkungan global. dan banyak dari kerusakan yang terjadi, bermotif ekonomi.

    BalasHapus