Sabtu, 04 Juli 2009

Civil Society ( Masyarakat Sipil )

Dalam masyarakat Barat, civil society sebenarnya adalah konsep lama yang dilupakan. Ia mulai diungkap lagi dalam kaitannya dengan perkembangan masyarakat di Eropa Timur di bawah rezim sosialis. Para sarjana di Barat mula-mula melihat konsep itu dalam gejala pergerakan Serikat Buruh Solidaritas yang bangkit melawan negara. Dalam sistem sosialis, kehadiran dan peranan negara sangat kuat. Dimana Negara sangat kuat dan mendominasi kehidupan individu dan masyarakat, maka sulit dibayangkan adanya apa yang disebut civil society.
Dalam perspektif Islam, civil society lebih mengacu kepada penciptaan peradaban. Kata al din, atau agama, berkaitan dengan makna al tamaddun, atau peradaban. Keduanya menyatu ke dalam pengertian al madinah yang arti harfiahnya adalah kota. Dengan demikian, maka civil society diterjemahkan sebagai "masyarakat madani", yang mengandung tiga hal, yakni agama, peradaban dan perkotaan. Di sini, agama merupakan sumber, peradaban adalah prosesnya, dan masyarakat kota adalah hasilnya. Meskipun begitu, di kalangan umat Islam, bisa terjadi perbedaan interpretasi mengenai masyarakat madani ini. Perbedaan tersebut timbul dari perbedaan interpretasi tentang apa yang dimaksud dengan masyarakat unggul (al khair al ummah). Ia bisa diartikan sebagai masyarakat sipil, bisa pula negara. Tetapi jika kita kembali kepada pengertian masyarakat madani, yang merupakan pemikiran baru di zaman modern ini, maka masyarakat madani mencakup masyarakat sipil maupun negara.
Istilah masyarakat sipil bagi sebagian besar masyarakat Indonesia merupakan istilah baru. Masyarakat madani sukar tumbuh dan berkembang pada rezim Orde Baru karena adanya sentralisasi kekuasaan melalui korporatisme dan birokratisasi di hampir seluruh aspek kehidupan, terutama terbentuknya organisasi-organisasi kemasyarakatan dan profesi dalam wadah tunggal, seperti MUI, KNPI, PWI, SPSI, HKTI, dan sebagainya. Organisasi-organisasi tersebut tidak memiliki kemandirian dalam pemilihan pemimpin maupun penyusunan program-programnya, sehingga mereka tidak memiliki kekuatan kontrol terhadap jalannya roda pemerintahan.

Hanya beberapa organisasi keagamaan yang memiliki basis sosial besar yang agak memiliki kemandirian dan kekuatan dalam mempresentasikan diri sebagai unsur dari masyarakat madani, seperti Nahdlatul Ulama (NU) yang dimotori oleh KH Abdurrahman Wahid dan Muhammadiyah dengan motor Prof. Dr. Amien Rais. Pemerintah sulit untuk melakukan intervensi dalam pemilihan pimpinan organisasi keagamaan tersebut karena mereka memiliki otoritas dalam pemahaman ajaran Islam. Pengaruh politik tokoh dan organisasi keagamaan ini bahkan lebih besar daripada partai-partai politik yang ada.
NU adalah komunitas yang tidak sepenuhnya terakomodasi dalam negara, bahkan dipinggirkan dalam peran kenegaraan. Di kalangan NU dikembangkan wacana civil society yang dipahami sebagai masyarakat non-negara dan selalu tampil berhadapan dengan negara. Kalangan muda NU begitu keranjingan dengan wacana civil society, lihat mereka mendirikan LKIS yang arti sebenarnya adalah Lembaga Kajian Kiri Islam, namun disamarkan keluar sebagai Lembaga Kajian Islam.
Kebangkitan wacana civil society dalam NU diawali dengan momentum kembali ke khittah 1926 pada tahun 1984 yang mengantarkan Gus Dur sebagai Ketua Umum NU. Gus Dur memperkenalkan pendekatan budaya dalam berhubungan dengan negara sehingga ia dikenal sebagai kelompok Islam budaya, yang dibedakan dengan kelompok Islam Politik. Dari kandungan NU lahir prinsip dualitas Islam-negara, sebagai dasar NU menerima asas tunggal Pancasila. Alasan penerimaan NU terhadap Pancasila berkaitan dengan konsep masyarakat madani, yang menekankan paham pluralisme, yaitu: (1) aspek vertikal, yaitu sifat pluralitas umat (QS al-Hujurat 13) dan adanya satu universal kemanusiaan, sesuai dengan Perennial Philosophy (Filsafat Hari Akhir) atau Religion of the Heart yang didasarkan pada prinsip kesatuan (tawhid); (2) aspek horisontal, yaitu kemaslahatan umat dalam memutuskan perkara baik politik maupun agama; dan (3) fakta historis bahwa KH A. Wahid Hasyim sebagai salah seorang perumus Pancasila, di samping adanya fatwa Mukhtamar NU 1935 di Palembang (Ismail, 1999: 17).
Terpilihnya Gus Dur sebagai presiden sebenarnya menyiratkan sebuah problem tentang prospek masyarakat madani di kalangan NU karena NU yang dulu menjadi komunitas non-negara dan selalu menjadi kekuatan penyeimbang, kini telah menjadi “negara” itu sendiri. Hal tersebut memerlukan identifikasi tentang peran apa yang akan dilakukan dan bagaimana NU memposisikan diri dalam konstelasi politik nasional, maka NU harus memerankan fungsi komplemen terhadap tugas negara, yaitu membantu tugas negara ataupun melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh negara, misalnya pengembangan pesantren. Sementara, Gus Dur harus mendukung terciptanya negara yang demokratis supaya memungkinkan berkembangnya masyarakat madani, dimana negara hanya berperan sebagai ‘polisi’ yang menjaga lalu lintas kehidupan beragama dengan rambu-rambu Pancasila (Wahid, 1991: 164).
Misi organisasi-organisasi keagamaan adalah menciptakan suatu masyarakat etis. Khusus di lingkungan Islam, corak masyarakat yang diatur oleh hukum (rule of law) sangat ditekankan. Cita "Negara Islam" atau "Masyarakat Islam", menurut Mohammad Rasyidi, adalah nomokrasi, yakni sebuah negara dan masyarakat yang mengacu kepada norma-norma hukum. Dalam negara integralistik, nilai-nilai keagamaan dapat dan bebas untuk diperjuangkan. Tetapi wujud hasilnya adalah sebuah hukum nasional. Hanya dalam bidang-bidang tertentu saja, misalnya dalam hukum keluarga, agama Islam diizinkan untuk diberlakukan secara otonom di kalangan umatnya. Tetapi hukum Islam itupun tampil sebagai bagian dari hukum nasional. Akibatnya, timbul kecenderungan untuk menguasai negara atau memperjuangkan nilai-nilai yang dianut oleh suatu kelompok agama melalui negara. Misalnya umat Islam memperjuangkan hukum larangan riba menjadi bagian dari UU Perbankan atau hukum halal-haram ke dalam UU Pangan.
Salah satu ide penting yang melekat dalam konsep civil society adalah keinginan memperbaiki kualitas hubungan antara masyarakat dengan institusi sosial yang berada pada: sektor publik (pemerintah dan partai politik), sector swasta (pelaku bisnis) dan sektor sukarela (lembaga swadaya masyarakat, organisasi keagamaan dan kelompok profesional).1 Secara politis, melalui konsep civil society dapat diciptakan bentuk hubungan yang kurang lebih semetris, sehingga kondusif bagi terciptanya demokrasi. Ide civil society menghendaki institusi-institusi yang berada pada sektor publik, sector swasta maupun sektor sukarela adalah berbentuk forum-forum yang representatif atau berupa asosiasi-asosiasi yang jelas arahnya dan dapat dikontrol. Forum atau asosiasi semacam itu bersifat terbuka, inklusif dan harus ditempatkan sebagai mimbar masyarakat mengekspresikan keinginannya. Peranan agama yang kuat seperti di Indonesia, sangat mendukung cita Negara-Idealis. Di sini, negara dipandang sebagai wadah dan sekaligus perwujudan nilai-nilai luhur yang bersumber pada agama. Itulah yang menjelaskan mengapa di Indonesia, demokrasi diberi predikat Pancasila. Karena demokrasi yang dikehendaki berlaku di Indonesia adalah demokrasi untuk merealisasikan nilai-nilai luhur Pancasila.
Seperti dikatakan Gramsci, negara juga mempunyai peranan dalam pembinaan masyarakat. Di Indonesia, negara, secara tidak langsung ikut membentuk masyarakat sipil. Setidak-tidaknya, melalui pembangunan, terutama sejak Orde Baru, negara telah mengangkat individu-individu untuk memasuki masyarakat ekonomi yang kompetitif. Sementara itu, tradisi gerakan kemasyarakatan, agaknya tidak hilang begitu saja, bahkan mengalami revitalisasi. Organisasi-organisasi kemasyarakatan, merasa tidak cukup puas dengan peranan negara. Hal ini ikut menjelaskan gejala lahirnya LSM sebagai kekuatan pengimbang dan kekuatan yang memberdayakan masyarakat-masyarakat marjinal. Disamping itu tampak menguatnya peranan negara, kita melihat pula perkembangan masyarakat sipil. Tapi kita juga melihat gejala ketiga, yakni pengeintegrasian agama ke dalam negara, sebagai dampak dari pelaksanaan cita negara integralistik. Tendensi ini datang dari kedua belah pihak. Disatu pihak, agama tidak mau dan ingin menghindari konfrontasi dengan negara, dan jika bisa, memanfaatkan sumberdaya negara. Di lain pihak, negara tidak menghendaki timbulnya masyarakat sipil yang bisa merongrong legitimasi negara. Agama di Indonesia, mengambil peranan penting dalam membentuk masyarakat sipil, khususnya sebagai masyarakat politik. Perkembangan masyarakat sipil ini ternyata lebih cepat dari pada perkembangan masyarakat ekonomi. Sebagai dampaknya, peranan negara lebih menonjol dan justru mengambil peran sebagai agen perubahan sosial yang berdampak terbentuknya masyarakat sipil, dari arti mencakup masyarakat politik maupun ekonomi.
Kecenderungan yang dominan di Indonesia adalah idealisasi negara, sebagai wadah nilai-nilai tertinggi. Perjuangan organisasi-organisasi keamanan ikut mendorong terbentuknya Negara-Ideal, atau Negara-Integralistik sebagai kompromi dari konflik antara sekularisme dan teokrasi. Dalam Negara-Ideal tersebut, agama dicegah untuk dominan dalam mewarnai corak negara, tetapi diberi kesempatan untuk masuk dan membentuk nilai-nilai ideal itu ke dalam wadah negara.

1 komentar: