Sabtu, 04 Juli 2009

War Isue...!!!

PEMIKIRAN PERANG :AS VS ISLAMIST

Dalam kebijakan luar negerinya, AS kini sedang memberikan perhatian khusus pada negeri-negeri muslim. Meskipun Rusia dan Cina dipandang sebagai ancaman nyata ideologi komunis yang dianutnya merupakan sumber permusuhan (hostility) yang laten bagi negara-negara penganut ideologi kapitalis, seperti AS, dan kedua negara tersebut mempunyai kemampuan (capability), khususnya bidang militer, yang nyata, tetapi setelah runtuhnya Uni Soviet, ideologi komunis ini cenderung ditinggalkan, seperti ditunjukkan dengan beralihnya beberapa negara-negara eks-Uni Soviet, seperti Georgia dan Ukraina, ke blok Barat. Sebaliknya di negeri-negeri muslim, meskipun negara-negaranya tidak mempunyai kemampuan yang nyata, bahkan lebih banyak tergantung pada Barat, tetapi rakyatnya cenderung menunjukkan permusuhan yang semakin meningkat. Sebagian dari mereka menunjukkan permusuhan ini dalam bentuk penyerangan terhadap kepentingan-kepentingan AS. Peristiwa 9/11 merupakan penyerangan spektakular yang mendorong untuk memikirkan tentang permusuhan tersebut, sehingga pertanyaan Presiden AS, George W. Bush, “why do they hate us so much?” (mengapa mereka sangat membenci kita?) banyak dibincangkan. Respon AS terhadap serangan ini adalah deklarasi “war on terror” (perang melawan teror) dengan kegiatan utamanya peningkatan kerjasama keamanan antar negara, serta penyerangan ke Iraq dan Afganistan guna memburu dan menghilangkan kemampuan para pelaku penyerangan (perpetrator). Selain hanya sebagai propaganda dan kepentingan terselubung lain, aksi-aksi militer AS dalam perang melawan teror sebenarnya kecil sekali pengaruhnya dalam menghilangkan kemampuan perpetrator. Ini karena arsenal yang dimiliki perpetrator ini sangat minim atau mereka menggunakan sebagai arsenal, bahan-bahan yang secara umum dapat diperoleh. Oleh karena itu, walaupun tidak nampak, “war on terror” sebenarnya lebih pada “war on ideas” (perang pemikiran), yaitu usaha untuk mendapatkan “heart and mind” (hati dan pikiran) masyarakat muslim guna menghilangkan sumber permusuhan terhadap AS.
Di lain pihak, para Islamist terus menyebarkan dalam masyarakat muslim pemahaman Islam ideologis, yaitu pemahaman Islam sebagai ideologi yang harus diterapkan oleh negara. Dianutnya Islam ideologis ini, seperti dianutnya ideologi komunis, merupakan sumber permusuhan dan ancaman laten bagi penganut ideologi kapitalis. Perang pemikiran, yaitu perebutan hati dan pikiran masyarakat, oleh AS dan Islamist akan menjadi faktor utama dinamika politik di negeri-negeri muslim.

Dua objektif kebijakan luar negeri AS yang tetap adalah untuk mewujudkan keamanan nasional dan mendukung kemakmuran domestik. Dalam konteks kebijakan luar negeri, keamanan nasional meliputi pencegahan serangan terhadap wilayah AS, maupun terhadap kepentingan-kepentingannya di negara lain. Aspek-aspek yang menyangkut keamanan nasional adalah sumber permusuhan (hostility), kemampuan (capabilties) musuh, dan tekad (willingness) untuk menggunakan kemampuannya tersebut. Sedangkan, penentu kemakmuran domestik adalah berjalannya perekonomian, yaitu berjalannya proses produksi dan terbukanya pasar. Aspek-aspek penentu berjalannya proses produksi adalah ketersediaan bahan mentah, energi, dan tenaga kerja. Berdasarkan pandangan ini, strategi kebijakan luar negeri AS dirancang guna menghilangkan sumber permusuhan, kemampuan musuh, dan tekad untuk menggunakan kemampuanya tersebut, serta menjamin bagi AS ketersediaan bahan mentah, energi, tenaga kerja, dan terbukanya pasar.

Terkait dengan kemakmuran domestik, AS memiliki kepentingan yang sangat besar di negeri-negeri muslim. Selain sebagai sumber energi utama bagi AS, minyak saat ini merupakan sumber energi utama bagi peradaban. Sedangkan, cadangan minyak terbesar terdapat di wilayah Timur Tengah. Oleh karena itu, penguasaan wilayah ini merupakan hal yang penting bagi kemakmuran domestik, bahkan secara tidak langsung untuk menguasai peradaban. Mengenai pasar, baik pasar tenaga kerja maupun pasar bagi produk-produk AS, negeri-negeri muslim merupakan pasar yang sangat besar. Negeri-negeri ini memiliki jumlah penduduk yang besar dan sedang membangun.

AS juga memiliki kepentingan yang besar yang terkait dengan keamanan nasionalnya di negeri-negeri muslim. Selain terdapat kepentingan ekonomi yang sangat besar, negeri-negeri muslim, khususnya di Asia Tengah, Asia Selatan dan Asia Tenggara, juga berpotensi untuk digunakan dalam membatasi ruang gerak (containing) Rusia dan Cina. Sedangkan, Pakistan, yang mempunyai senjata nuklir, merupakan suatu kepentingan keamanan nasional tersendiri.

Permasalahan utama bagi keamanan nasional AS saat ini adalah potensi munculnya pemerintahan yang tidak kooperatif di negeri-negeri muslim. Pemerintahan di negeri-negeri muslim umumnya kooperatif dalam melindungi kepentingan nasional AS di wilayahnya, hanya saja, saat ini, semakin banyak elemen masyarakat menunjukkan permusuhan terhadap AS, baik dengan penyerangan fisik atas kepentingan-kepentingan AS maupun dengan seruan-seruan permusuhan. Meningkatnya permusuhan rakyat terhadap AS menyebabkan pemerintah yang kooperatif dengan AS menjadi semakin redah kredibilitas di mata rakyatnya sendiri, sehingga peluang pemerintahan tersebut runtuh semakin besar. Runtuhnya pemerintah yang kooperatif tersebut merupakan awal bencana bagi AS, yaitu tegaknya pemerintah yang tidak kooperatif, pemerintah yang akan memboikot kepentingan atau bahkan melancarkan perang terhadap AS.

Satu di antara sebab-sebab meningkatnya permusuhan rakyat di negeri-negeri muslim terhadap AS adalah pandangan bahwa AS hipokrit. Ketika suatu negara tidak kooperatif, AS membeberkan dan mempermasalahkan pelanggaran-pelanggaran di negara tersebut, misalnya, pelanggaran hak asasi manusia, tetapi pada waktu yang sama, jika suatu negara kooperatif, AS tidak peduli dengan pelanggaran-pelanggaran yang sama di negara yang kooperatif tersebut. Sebagai contoh, karena dianggap kurang kooperatif, AS membeberkan dan mempermasalahkan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di Sudan dan Afghanistan pada masa Thaliban, tetapi karena dianggap kooperatif, AS tidak peduli atas pelanggaran-pelanggaran yang sama yang terjadi di Arab Saudi, Mesir, Israel, dan Uzbekistan, bahkan untuk Mesir dan Israel, AS memberikan dana sebesar $5 milyar/tahun, dan untuk Uzbekistan, AS memberikan dana sebesar $200 juta untuk tahun 2002 saja.

Untuk menghilangkan pandangan hipokrit terhadapnya, AS harus memisahkan diri dari pemerintahan yang melakukan pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia. AS harus tidak menunjukkan dukungan terhadap pemerintahan yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Sebaliknya, AS harus menentang pemerintahan tersebut bahkan membatu rakyat untuk menggantinya. Hanya saja, dalam penggantian pemerintahan ini, harus dipastikan bahwa pemerintahan yang baru akan kooperatif dengan AS.

AS dapat mempengaruhi terpilihnya pemerintahan baru yang kooperatif, jika masyarakat menerima pandangan hidup sekularisme dan konsep demokrasi. Jika masyarakat mengadopsi pandangan hidup sekularisme dan konsep demokrasi, maka pemerintahan dan aturan-aturan yang dilaksanakannya akan ditentukan oleh opini publik. Padahal dengan keahlian yang dominan yang dimilikinya dalam bidang media massa, “pakar” (self declared experts), dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang didukungnya, AS sangat kuat dalam mempengaruhi opini publik, baik yang terkait dengan calon penguasa maupun berbagai isu, sehingga munculnya pemerintahan yang kooperatif lebih terjamin.

Dalam usaha menanamkan pandangan hidup sekularisme dan konsep demokrasi dalam masyarakat muslim, AS menghadapi tantangan serius dari para Islamist. Masyarakat muslim umumnya merupakan masyarakat konservatif, yang masih cukup kuat memegang nilai-nilai Islam. Sebagai contoh, masyarakat muslim akan sulit melimpahkan kepemimpinan pemerintahan pada wanita atau non-muslim. Begitu pula, masyarakat muslim tidak terbiasa dengan konsep demokrasi, mereka selama ini lebih banyak hidup di bawah pemerintahan yang diktator. Oleh karena itu, AS terus berusaha untuk menanamkan pandangan hidup sekular dan konsep demokrasi dalam masyarakat muslim. Hanya saja, dalam usahanya ini, AS mendapat tantangan dari para Islamist, yaitu para pengemban Islam ideologis. Pemahaman Islam ideologis adalah pemahaman Islam sebagai ideologi yang harus diterapkan oleh negara. Berdasarkan pemahaman ini, seluruh hukum harus mengacu pada al-Qur’an dan as-Sunnah, sehingga setiap isu harus diselesaikan berdasarkan argumentasi syar’i, bukan berdasarkan opini publik. Menyebarnya pemahaman Islam ideologis ini dikhawatirkan oleh AS akan memunculkan negara dengan ideologi Islam. Jika suatu negara mengadopsi Islam sebagai ideologinya, maka kebijakannya akan sulit dipengaruhi, bahkan negara tersebut mungkin akan berada pada posisi yang tidak kooperatif atau malahan bermusuhan dengan AS. Ini sangat berbahaya bagi AS, khususnya bila terjadi di negeri-negeri yang terdapat kepentingan vital AS, seperti di Timur Tengah. Di samping itu, menyebarnya pemahaman Islam ideologis ini juga mungkin merupakan penyebab lain meningkatnya permusuhan terhadap AS.
AS telah memahami secara jelas bahwa ia sedang melawan para Islamist dalam perang pemikiran. Pada tahun 2002, Sekertaris Menteri Pertahanan AS, Paul Wolfowitz, mengatakan: “Today, we are fighting a war on terror—a war that we will win. The larger war we face is the war of ideas—a challenge to be sure, but one that we must also win”(1) [Saat ini, kita sedang bertempur dalam perang melawan teror—perang yang kita akan menangkan. Perang yang lebih besar yang kita hadapi adalah perang pemikiran—jelas suatu tantangan, tetapi sesuatu yang kita harus menangkan juga]. Pada tahun 2004, Penasehat Keamanan Nasional, Condoleezza Rice, mengatakan: “True victory will come not merely when the terrorists are defeated by force, but when the ideology of death and hatred is overcome”(2) [Kemenangan sebenarnya tidak akan muncul hanya karena teroris dikalahkan dengan kekerasan, tetapi karena ideologi kematian dan kebencian dikalahkan]. AS meyakini akan dapat mengalahkan perlawanan bersenjata yang dilakukan oleh sebagian Islamist. Ini karena kekuatan militer AS jauh lebih besar dibanding kekuatan para Islamist. Selain itu, AS juga menyadari bahwa kekuatan ideologi Islam yang diemban para Islamist tidak akan mudah ditaklukkan; ideologi Islam secara alami lebih mudah menarik hati dan pikiran masyarakat muslim.

Memahami perang pemikiran yang sedang dijalani dan musuh yang sedang dihadapi, AS telah membuat strategi untuk memenangkannya, strategi yang dinamai “Muslim World Outreach”. Beberapa butir utama yang dapat dipahami dari strategi Muslim World Outreach (MWO) ini adalah:
Sekularisme dan demokrasi merupakan kriteria pengelompokan muslim. MWO mempunyai sasaran untuk memperkuat kelompok moderat.(3) Ini menunjukkan bahwa AS mengelompokkan muslim setidaknya ke dalam dua kelompok, yaitu moderat dan tidak moderat (radikal atau Islamist). Mempertimbangkan kepentingan kebijakkan luar negeri AS, kriteria utama untuk pengelompokan muslim ini adalah kesesuaian pemahamannya dengan sudut pandang sekularisme dan konsep demokrasi.
Kelompok moderat didorong dan dibantu untuk melakukan kampanye untuk mendiskreditkan kelompok radikal. Paul Wolfowitz mengatakan: “[T]his fight must be fought most emphatically in the Muslim world itself, and by Muslims” [perang ini harus dijalankan utamanya di negeri-negeri muslim itu sendiri, dan oleh muslim]. Selanjutnya, ia mengatakan: “It would be a mistake to think we could be the ones to lead the way, but we must do what we can to encourage the moderate Muslim voices that can. This is a debate about Muslim values that must take place among Muslims”(1) [suatu kesalahan untuk berpikir bahwa kita dapat menjadi orang yang memimpin dalam hal ini, tetapi kita harus melakukan apa yang dapat kita lakukan untuk mendorong seruan-seruan muslim moderat. Ini adalah debat tentang nilai-nilai muslim yang harus dilakukan di antara muslim]. Kelompok moderat didorong untuk memperbanyak hasil kajian yang menunjukkan kesesuaian Islam dengan sekularisme, demokrasi, dan ide-ide turunannya,(3) seperti konsep “Teologi Negara Sekular”, yaitu opini perlunya negara sekular dengan kosa kata dan simbol-simbol yang digali dari teks dan tradisi Islam, yang diusulkan Denny JA dalam kelompok diskusi (milis) Islam Liberal.(5) Kemudian, Zeyno Baran, analis dari the Nixon Center yang juga penasehat strategi MWO ini, menyarankan: "You provide money and help create the political space for moderate Muslims to organize, publish, broadcast, and translate their work"(3) [anda sediakan dana dan bantu membuat ruang politik bagi muslim moderat untuk mengorganisasi, mencetak, menyebarkan, dan menterjemahkan hasil kerja mereka]. Aktor-aktor AS dalam perang pemikiran ini umumnya berasal dari U.S. Agency for International Development (USAID).(3) USAID telah menyalurkan dana untuk mensponsori beberapa program yang terkait dengan MWO ini, di antaranya program pengembangan mata pelajaran kewarganegaraan yang dilaksanakan oleh Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta; program penelaahan fiqih Islam yang bertujuan untuk menunjukkan kesesuaiannya dengan demokrasi dan hak asasi manusia, yang dilaksanakan oleh Institut Paramadina; program pertukaran pelajar dan cendikiawan muslim yang dilaksanakan oleh International Center for Islam and Pluralism; program radio “Islam dan Toleransi” yang disiarkan oleh 40 stasiun radio di 40 kota, dan berdasarkan program ini, ditulis setengah-halaman artikel di lebih dari 100 surat kabar per minggu di seluruh Indonesia, yang dilaksanakan oleh Jaringan Islam Liberal; pendirian pusat konseling untuk masalah kekerasan domestik dan pusat advokasi bagi wanita, yang dilaksanakan oleh Fatayat, korps wanita Nahdlatul Ulama; dsb.(4)
Indonesia merupakan target pertama dari strategi MWO. Pada bulan Februari, Global Information and Influence Team yang dibentuk oleh the CIA's Office of Transnational Issues menyelenggarakan konferensi diplomasi publik yang memfokuskan pada pembahasan strategi untuk mempengaruhi enam negara, termasuk di antaranya Indonesia.(3) Seorang pejabat AS mengatakan bahwa perubahan Islam akan dimulai dari luar dunia Arab.(3) Indonesia sebagai target pertama dari strategi MWO dapat dipahami karena selain paling moderat (sekular) dan paling banyak jumlahnya, muslim Indonesia sangat lemah dalam mengakses khazanah Islam (hambatan bahasa), sehingga interpretasi Islam sangat tergantung pada ulama dan media.
Media massa merupakan alat yang penting dalam strategi MWO. Dengan target para pemirsa Arab, AS telah membangun pada tahun 2002, Radio Sawa, stasiun radio yang menyiarkan musik pop dan berita, dan pada tahun 2004, al-Hurra, TV satelit yang menyiarkan berita. Seperti yang telah disebutkan, AS mendanai JIL untuk menjalankan program “Islam dan Toleransi” yang disiarkan di 40 stasiun radio di 40 kota. Di samping itu, banyak program yang tidak secara eksplisit terkait dengan tema Islam, seperti program hiburan, program anak-anak, dsb., digunakan untuk menyisipkan pesan-pesan, seperti pluralisme, demokrasi, dsb.

Sedangkan, para Islamist untuk memenangkan perang pemikiran ini akan menjalankan strategi sebagai berikut:
Persaudaraan di antara muslim terus dikokohkan. Kunci keberhasilan strategi MWO sangat ditentukan oleh kemampuan AS memecah muslim ke dalam kelompok moderat dan kelompok radikal. Untuk mencegah pengelompokan ini, para Islamist harus meningkatkan interaksi di antara muslim, khususnya di antara organisasi-organisasi Islam.
Perang pemikiran diseret ke dalam tataran keimanan. Pemahaman bahwa penerapan aturan-aturan Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara merupakan konsekuensi langsung dari keimanan terhadap aqidah Islam akan terus diserukan. Demonstrasi dan kerusuhan yang dipicu oleh pemberitaan Newsweek tentang pelecehan al-Qur’an baru-baru ini menunjukkan bahwa isu keimanan adalah isu yang sangat sensitif bagi muslim. Dengan menyeret perang pemikiran pada tataran keimanan, isu-isu yang digulirkan akan mendapat perhatian besar dari kaum muslim.
Perang pemikiran difokuskan pada isu-isu dalam sistem sosial, sistem ekonomi, dan sistem pemerintahan. Ketika ditegakkan, negara Islam akan menerapkan sistem sosial, sistem ekonomi, dan sistem pemerintahan yang sangat berbeda dengan sistem yang ada sekarang ini. Di samping itu, ketiga sistem ini sangat erat terkait dengan kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat perlu dipahamkan tentang ketiga sistem ini, sehingga ketika sistem ini diterapkan, masyarakat secara sadar memberikan dukungannya. Pembahasan isu di luar isu dari ketiga sistem ini, seperti isu ibadah, ditekankan pada proses penggalian hukumnya, yaitu pembahasa usul fiqih. Ini dimaksudkan agar cara berpikir Islami masyarakat meningkat, sehingga ketika mendiskusikan suatu isu, khususnya isu-isu yang terkait dengan sistem sosial, ekonomi, dan pemerintahan, masyarakat akan berargumentasi dalam batas-batas syar’i. Seandainya, isu di luar isu-isu yang terkait dengan ketiga sistem tadi muncul secara kontroversial, seperti sholat dengan dua bahasa, atau wanita menjadi imam sholat Jum’at, maka selain tentang usul fiqih, pembahasannya juga ditarik kepada bagaimana pemerintahan Islam akan menyelesaikan isu tersebut.
Sarana penyebaran ide-ide dilakukan utamanya melalui jaringan kelompok diskusi. Berbeda dengan AS yang mengutamakan media massa, para Islamist dalam menyebarkan idenya akan mengutamakan pada diskusi dari rumah ke rumah, dari masjid ke masjid, dan dari kampus ke kampus, serta mendorong peserta diskusi untuk membuat diskusi yang sama. Kemudian, dalam diskusinya, para Islamist akan mengambil opini yang muncul di media massa sebagai contoh dalam diskusinya, dan kemudian menunjukkan kesalahan atau ketidakislamian opini tersebut.

Demikianlah, politik di negeri-negeri muslim, khususnya Indonesia, ke depan ini akan kental diwarnai oleh pertarungan pemikiran antara AS dan Islamist. Siapa yang akan jadi pemenang dalam pertarungan untuk memperebutkan hati dan pikiran muslim ini akan sangat ditentukan oleh keahlian masing-masing pihak merealisasikan strateginya.








Pustaka

"Bridging the Dangerous Gap between the West and the Muslim World", Remarks Prepared for Delivery by Deputy Secretary Paul Wolfowitz at the World Affairs Council , Monterey, CA, Friday, May 3, 2002.
http://www.defense.gov/speeches/2002/s20020503-depsecdef.html
“Rice: U.S. using Cold War techniques in war on terror Waging a war of ideas with radical Islam”, Thursday, August 19, 2004 Posted: 4:13 PM EDT (2013 GMT).
http://www.cnn.com/2004/ALLPOLITICS/08/19/rice-muslims/
“Hearts, Minds, and Dollars. In an Unseen Front in the War on Terrorism, America is Spending Millions...To Change the Very Face of Islam”, By David E. Kaplan.
http://www.usnews.com/usnews/news/articles/050425/25roots.htm
“Muslim World Outreach and Engaging Muslim Civil Society”, USAID 2004 Summer Seminars.
http://www.usaid.gov/policy/cdie/notes10.html
“Teologi Negara Sekular: Substansi dan Metodologi”.
http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=165

Masalah Gender Di Indonesia

Isu gender merupakan sesuatu yang menarik untuk di bahas dalam skala internasional maupun nasional,namun saya akan berceloteh tentang gender di Negara tercinta ini. Opini publik tentang wanita dalam sejarah masyarakat, kapan dan dimanapun selalu terdapat kelas yang bersifat meremehkan martabat wanita dan memandangnya sebagai hamba kelas dua setelah kaum pria. Program peningkatan peranan wanita di Indonesia merupakan refleksi dan perwujudan dari proses emansipasi wanita tertuang dalam surat-surat Kartini melalui bukunya "Habis Gelap Terbitlah Terang” dalam menuju kesetaraan antara wanita dan pria. Jalan menuju kemitraan antara wanita dan pria merupakan jalan panjang yang sejak jaman RA Kartini sampai jaman Presiden Megawati memimpin negara Indonesia, juga sampai pada jaman Dr. Meutia Hatta menjabat sebagai menteri pemberdayaan perempuan di era kabinet presiden SBY saat ini, masih merupakan jalan yang panjang yang tidak mudah ditempuh.
Di Indonesia wanita mulai dilihat perannya dalam hubungan interaksi dengan keluarga bahkan lingkungan pembangunan yang lebih luas. Dalam GBHN sebagai acuan pembangunan telah mengamanatkan peningkatkan kedudukan dan peran wanita dalam pembangunan ini sejak tahun 1978. Dalam GBHN 1993 program peningkatan kedudukan dan peran wanita dalam pembangunan jangka panjang tahap II (PJPT II) diarahkan pada sasaran umum yaitu meningkatkan kualitas wanita dan terciptanya iklim sosial budaya yang mendukung bagi wanita untuk mengembangkan diri dan meningkatkan perannya dalam berbagai dimensi kehidupan berkeluarga, berbangsa dan bernegara. Kita menyadari bahwa setiap kebijaksanaan dan strategi yang diterapkan dalam pelaksanaan pembangunan tidak selalu memiliki dampak , manfaat akibat
yang sama terhadap pria dan wanita. Kesenjangan antara wanita dan pria dalam berbagai bidang pembangunan dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Wanita sebagai tenaga kerja memperoleh lapangan kerja yang terbatas daripada pria, juga dari segi upah atau gaji yang diterima lebih rendah daripada pria.
Isu gender merupakan isu yang relatif baru bagi masyarakat sehingga seringkali menimbulkan berbagai penafsiran dan tanggapan yang sering kurang tepat tentang gender. Pemahaman mengenai gender menjadi sesuatu yang sangat penting artinya bagi semua kalangan, baik dalam pemerintahan, swasta, masyarakat maupun keluarga. Melalui pemahaman yang benar mengenai gender diharapkan secara bertahap diskriminasi perlakuan terhadap perempuan dapat diperkecil sehingga perempuan dapat memanfaatkan kesempatan dan peluang yang diberikan untuk berperan lebih besar dalam berbagai aspek kehidupan.
Karena di Indonesia dan dinegara-negara lain dibelahan dunia sana masih terjadi kondisi yang disebut dengan ketidakadilan gender. Kita ambil contoh lain dalam bidang pendidikan. di Indonesia perempuan masih sering dinomorduakan, terutama pada lingkup keluarga di pedesaan atau di kalangan masyarakat yang lemah dalam status ekonominya.
Dengan tingginya biaya pendidikan dan terbatasnya dana yang tersedia, anak perempuan seringkali mendapat tempat kedua setelah anak laki-laki, dalam hal melanjutkan pendidikan tinggi. Dengan anggapan bahwa laki-laki akan menjadi penopang keluarga, pencari nafkah utama maka dia harus mempunyai tingkat pendidikan lebih tinggi dari perempuan. Anggapan seperti ini bukan saja hanya merugikan perempuan, tetapi juga memberikan tekanan dan tuntutan yang luar biasa berat pada laki-laki. Laki-laki dituntut harus kuat, harus pandai, harus mempunyai pekerjaan yang bagus dan sederet kata ‘harus’ lainnya, sebagai ‘konsekuensi’ dari pandangan masyarakat yang menempatkan mereka pada kedudukan lebih tinggi daripada perempuan. Sementara itu, perempuan yang dianggap nomor dua dan tidak begitu penting dalam peran sosialnya di masyarakat, perlahan-lahan akan semakin tertinggal dan tidak bisa berkontribusi banyak terhadap prosesproses pembangunan yang berkembang di lingkungannya. Tidak heran, jika sampai saat sekarang ini, pembangunan di negara kita masih jauh tertinggal dibandingkan negara-negara maju lainnya yang relatif lebih sedikit memiliki sumberdaya. Salah satu sebabnya adalah sumberdaya manusia yang produktif dan dapat menyumbangkan kemampuannya untuk kemajuan negara, masih sangat terbatas jumlahnya.
Hasil survei BPS tahun 2000 diketahui bahwa jumlah perempuan di Indonesia hampir setengahnya (49,9%) dari jumlah penduduk lakilaki (50,1%). Dari jumlah tersebut, pada tahun 2000 terdapat 14,54% perempuan yang buta huruf (dibandingkan laki-laki 6,87%) dan sebesar
12,28% pada tahun 2003 (dibandingkan dengan laki-laki 5,48%).
Sebagai akibat langsung dari penomorduaan (subordinasi) posisi perempuan serta melekatnya label-label atau citra baku pada diri perempuan (stereotype), perempuan tidak memiliki peluang, akses dan kontrol seperti laki-laki dalam penguasaan sumber-sumber ekonomi. Dalam banyak hal, lemahnya posisi seseorang dalam bidang ekonomi mendorong pada lemahnya posisi mereka dalam pengambilan keputusan. Lebih jauh hal ini akan berakibat pada terpinggirkan atau termarginalkannya kebutuhan dan kepentingan pihak-pihak yang lemah tersebut, dalam hal ini adalah perempuan.
Di kantor-kantor, staf perempuan sulit mendapatkan posisi pengambil keputusan. Perempuan dianggap masih tidak mampu untuk melakukan tugas-tugas penting dan serius seperti menangani proyek-proyek pembangunan. Perempuan juga belum berpartisipasi aktif dalam perencanaan program program pembangunan di daerah. Fenomena seperti ini umum terjadi dalam tubuh instansi pemerintahan, baik skala nasional maupun daerah. Staf perempuan yang terlibat dalam struktur kepengurusan atau pengelolaan sebuah proyek, mereka cenderung sulit mendapatkan posisi pengambil keputusan proyek. Kebanyakan, staf perempuan lebih berfungsi sebagai ‘peran pembantu’, misalnya untuk mencatat hasil rapat, mengetik laporan, dan peran lainnya yang tidak memungkinkan mereka untuk mempunyai akses dan kontrol langsung terhadap proses pengambilan keputusan. Dalam lingkup masyarakat tradisional seperti yang ada di banyak tempat di Indonesia, kondisi perempuan yang terpinggirkan dianggap lumrah dan biasa.

Masalah Demokrasi Di Indonesia

Saat ini, demokrasi telah berkembang di hampir seluruh dunia. Anggapan bahwa demokrasi hanyalah merupakan benda antik khas barat yang tidak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik dinegara lain, tidak menemukan pembenarannya. Kemudian, kenapa demokrasi mampu menjadi sebuah sistem yang begitu menarik bagi para ilmuwan politik untuk dikaji dan terus dikembangkan.
Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya
pembagian kekuasaan dalam suatu negara (umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica) dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Demokrasi kontemporer di Indonesia selalu memfokuskan diri pada issu sekitar perimbangan kekuatan antara negara dan masyarakat, isu representasi dalam pemerintahan, dan yang terakhir mengenai peran partai-partai politik dan perpecahannya. Sangat sedikit perhatian untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali diberikan kepada isu mengenai bagaimana teknologi berperan dalam proses demokratisasi. Sebaliknya, para ahli teknologi kita jarang sekali melihat signifikasi aspek-aspek sosial politik dalam proses pengembangan teknologi sehingga tidak jarang menimbulkan diskrepansi antara teknologi yang dikembangkan dengan realitas sosial politik.
Ada dua alasan diperlukannya suatu pemahaman yang baik tentang keterkaitan antara demokrasi dan teknologi. Pertama adalah bahwa sistem demokrasi yang baik pada situasi tertentu akan sangat tergantung pada teknologi. Sebagai contoh adalah teknologi telekomunikasi yang digunakan dalam proses penyebaran berita-berita politik yang merupakah hak setiap warga negara. Atau misalnya teknologi komputasi yang digunakan dalam proses penghitungan suara dalam pemilihan umum. Peran teknologi menjadi penting ketika kita menyadari bahwa sistem demokrasi yang baik dapat dimanipulasi oleh pihak-pihak yang berkepentingan melalui penguasaan teknologi tersebut.
Jika alasan pertama menyorot pada bagaimana teknologi mempengaruhi sistem demokrasi, maka alasan kedua berada pada anak panah yang sebaliknya, yakni demokrasi mempengaruhi proses pengembangan teknologi. Pengembangan teknologi di suatu negara, baik negara dimana peran pemerintah sangat kuat maupun negara liberal seperti di Amerika Serikat, tidak pernah lepas dari peran pemerintah. Pemerintahlah yang memiliki kekuasaan untuk membuat suatu kebijakan teknologi. Point of interest di sini adalah fakta bahwa pengembangan teknologi merupakan hasil dari suatu proses politik. Di Indonesia, kebijakan teknologi menjadi penting jika kita melihat fakta bahwa telah begitu banyak dana pengembangan teknologi dikeluarkan oleh pemerintah tetapi tidak memberikan dampak signifikan bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
Ketika era reformasi digulirkan oleh kalangan mahasiswa di Jakarta dan diikuti oleh kampus-kampus dikota yang lain, ada satu hal yang membedakan secara signifikan gerakan mahasiswa 1998 ini dengan apa yang dilakukan oleh senior-senior mereka di tahun-tahun sebelumnya. Faktor penting tersebut adalah penggunaan internet.
Secara fungsional internet adalah media pertukaran informasi yang tidak berbeda fungsinya dari sebutlah itu telepon, koran, faksimil. Tetapi internet memiliki empat karakteristik yang membuatnya menjadi superior dibanding media komunikasi lainnya. Pertama adalah biaya penggunaan yang relatif murah. Kedua adalah sifatnya yang real time. Ketiga adalah sifatnya yang tanpa batas. Tidak ada sekat-sekat ruang di media ini yang memungkinkan tiap orang dapat saling terkoneksi dengan baik. Keempat, dan ini yang paling penting, internet menyediakan ruang-ruang publik yang tidak dapat ditembus oleh otoritas penguasa. Ketika Tempo dibredel oleh Harmoko atas nama penguasa Orde Baru, bukan berarti kematian bagi Tempo. Internet lalu menjadi alternatif yang sangat jitu dalam penyebaran berita-berita politik aktual oleh Tempo.
Karakteristik-karakteristik tersebut menjadikan internet media yang paling efektif dalam gerakan reformasi tahun 1998. Berita-berita politik dapat disebar tanpa adanya hambatan dari penguasa. Aksi-aksi demokrasi dapat terkonsolidasi dengan mudah lewat penggunaan internet khususnya pengiriman surat lewat e-mail. Para pendukung gerakan reformasi mendapat feedback yang cepat melalui internet. Secara umum bahkan bisa dilihat bagaimana internet merubah perilaku individual dan sosial masyarakat khususnya di wilayah-wilayah yang memiliki infratsruktur teknologi pendukung internet yang memadai seperti di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya. Dari teknologi yang kelihatannya sepele ini, gerakan reformasi mendapat momentum politik yang besar. Kajian yang lengkap mengenai internet dan proses reformasi di Indonesia dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Merlyna Lim, kandidat doktor Science, Technology, and Society Studies (STS) University of Twente.
Tentunya internet bukanlah satu-satunya faktor teknologis yang bermain. Telepon selular dan televisi adalah faktor teknologis yang berperan cukup penting dalam akselerasi momentum politik gerakan reformasi 1998. Tetapi internetlah yang memberikan suatu kesempatan yang baru bagi para pelaku refromasi untuk saling berinteraksi secara lebih intensif.
Berkembangnya suatu teknologi adalah hasil dari konstruksi sosial. Suatu teknologi berkembang sebagai suatu hasil bentukan sosial di mana teknologi tersebut berada. Ahli teknik dan ahli desain yang merancang suatu produk teknologi “hanyalah” agen-agen teknis yang “tunduk” pada proses sosial antara produk teknologi dan masyarakat pengguna. Teknologi bukanlah suatu entitas vakum dan bebas nilai. Ketika berinteraksi dengan masyarakat pengguna, teknologi mengalami proses appropriation (diterjemahkan secara bebas sebagai penyesuaian). Appropriation adalah suatu proses pemberian makna oleh kelompok-kelompok masyarakat berdasarkan nilai-nilai serta kepentingan yang ada pada masyarakat tersebut terhadap suatu produk teknologi Pemberian makna yang beragam, baik antar individu maupun anta kelompok, menjadikan proses perkembangan (evolusi) teknologi menjadi multikultural.
Dari penjelasan ini kita bisa memahami bagaimana “nilai” suatu produk teknologi pada suatu kelompok sosial tertentu berbeda dengan kelompok sosial lainnya karena perbedaan budaya kedua kelompok tersebut Sebagai misal, kecenderungan orang Indonesia dalam memaknai produk teknologi sebagai bagian dari gaya hidup menghasilkan nilai guna yang berbeda dengan orang Eropa yang memperlakukan produk teknologi semata-mata sebagai instrumen. Contoh yang gamblang adalah telepon seluler yang bagi orang Indonesia dianggap bukan hanya sebagai alat telekomunikasi, seperti yang dilakukan oleh orang Eropa, tetapi sebagai simbol status. Perbedaan “makna” ini berimplikasi pada proses penyesuaian yang berbeda terhadap produk teknologi yang sama yang mempengaruhi proses perkembangan teknologi tersebut.
Proses penyesuaian teknologi ini terjadi dalam teknologi internet dalam kaitannya dengan proses demokratisasi di Indonesia. Setiap fungsi teknis yang terangkum dalam internet mengalami proses penyesuaian yang tidak hanya berimplikasi pada fungsi teknis, tetapi juga fungsi sosial dan politik.
Proses penyesuaian menjadi krusial ketika teknologi menjadi alat (manipulasi) politik yang ampuh. Penguasaan teknologi pencitraan melalui satelit oleh negara-negara maju adalah salah satu bukti bagaimana negara-negara tersebut mampu mendominasi konstelasi politik dunia melalui teknologi. Atau bagaimana CNN yang pro-barat dengan jaringan teknologi broadcasting yang sangat luas mampu menghegemoni berita-berita dunia. Di Indonesia, kasus penguasaan teknologi sebagai alat politik bisa dilihat ketika Golongan Karya masih berkuasa pada era Orde Baru dimana televisi dan beberapa media lainnya dijadikan alat propaganda yang ampuh.

Demokratisasi Teknologi
Isu demokratisasi dalam teknologi dapat dilihat dalam konteks proses kebijakan. Seperti telah disebutkan sebelumnya, perkembangan teknologi sedikit banyak bergantung pada kebijakan pemerintah. Dalam konteks ini, pengembangan teknologi adalah political statement dalam arti kata bahwa teknologi merupakan representasi kepentingan-kepentingan politis. Hal ini jelas terbukti pada kebijakan teknologi di beberapa negara di mana perkembangan teknologi sangat tergantung pada keputusan politik pemerintah untuk mencapai political ends tertentu atas negara lain.
Proyek pengembangan teknologi dirgantara di era Habibie adalah contoh kasus yang sangat kontekstual. Pengembangan teknologi canggih, khususnya industri dirgantara merupakan political statement untuk mengangkat citra Indonesia di mana internasional. Sebagai political statement, teknologi canggih yang dikembangkan sangat sarat dengan muatan-muatan politik yang sayangnya justru menjadikan proyek-proyek tersebut jauh dari realitas sosial ekonomi masyarakat.
Kebijakan teknologi Habibie tidak saja gagal dalam proyek pengembangan teknologi canggih, tapi juga telah mengorbankan sektor lainnya untuk berkembang karena tersedotnya dana ke sektor teknologi canggih yang menyerap dana triliunan rupiah. Pengembangan teknologi pertanian misalnya, atau jenis teknologi lainnya yang lebih menyentuh kebutuhan nyata masyarakat luas menjadi terhambat dana yang terbatas.
Kegagalan kebijakan teknologi Habibie sangat erat terkait dengan sistem politik otoriter di era Orde Baru. Kedekatan Habibie dengan Presiden Suharto menjadikan proses kebijakan teknologi menjadi sangat tertutup dan cenderung one-man-show sehingga manipulasi sangat mungkin terjadi. Ketidaktepatan kebijakan yang dibuat Habibie adalah bentuk governing mentality yang cenderung menafikan keterlibatan publik dalam proses pengambilan keputusan (Campbell, 2000).
Agenda demokratisasi teknologi di Indonesia dapat dimulai dengan transparansi proses pembuatan kebijakan teknologi. Dominasi para elit-elit teknologi yang berada dilembaga pemerintah seperti BPPT, Kementerian Riset dan Teknologi, dan berbagai bentuk dewan riset yang ada sudah selayaknya diimbangi dengan partisipasi publik secara luas.











MASALAH DEMOKRASI DI INDONESIA
Saat ini, demokrasi telah berkembang di hampir seluruh dunia. Anggapan bahwa demokrasi hanyalah merupakan benda antik khas barat yang tidak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik dinegara lain, tidak menemukan pembenarannya. Kemudian, kenapa demokrasi mampu menjadi sebuah sistem yang begitu menarik bagi para ilmuwan politik untuk dikaji dan terus dikembangkan.
Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya
pembagian kekuasaan dalam suatu negara (umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica) dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Demokrasi kontemporer di Indonesia selalu memfokuskan diri pada issu sekitar perimbangan kekuatan antara negara dan masyarakat, isu representasi dalam pemerintahan, dan yang terakhir mengenai peran partai-partai politik dan perpecahannya. Sangat sedikit perhatian untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali diberikan kepada isu mengenai bagaimana teknologi berperan dalam proses demokratisasi. Sebaliknya, para ahli teknologi kita jarang sekali melihat signifikasi aspek-aspek sosial politik dalam proses pengembangan teknologi sehingga tidak jarang menimbulkan diskrepansi antara teknologi yang dikembangkan dengan realitas sosial politik.
Ada dua alasan diperlukannya suatu pemahaman yang baik tentang keterkaitan antara demokrasi dan teknologi. Pertama adalah bahwa sistem demokrasi yang baik pada situasi tertentu akan sangat tergantung pada teknologi. Sebagai contoh adalah teknologi telekomunikasi yang digunakan dalam proses penyebaran berita-berita politik yang merupakah hak setiap warga negara. Atau misalnya teknologi komputasi yang digunakan dalam proses penghitungan suara dalam pemilihan umum. Peran teknologi menjadi penting ketika kita menyadari bahwa sistem demokrasi yang baik dapat dimanipulasi oleh pihak-pihak yang berkepentingan melalui penguasaan teknologi tersebut.
Jika alasan pertama menyorot pada bagaimana teknologi mempengaruhi sistem demokrasi, maka alasan kedua berada pada anak panah yang sebaliknya, yakni demokrasi mempengaruhi proses pengembangan teknologi. Pengembangan teknologi di suatu negara, baik negara dimana peran pemerintah sangat kuat maupun negara liberal seperti di Amerika Serikat, tidak pernah lepas dari peran pemerintah. Pemerintahlah yang memiliki kekuasaan untuk membuat suatu kebijakan teknologi. Point of interest di sini adalah fakta bahwa pengembangan teknologi merupakan hasil dari suatu proses politik. Di Indonesia, kebijakan teknologi menjadi penting jika kita melihat fakta bahwa telah begitu banyak dana pengembangan teknologi dikeluarkan oleh pemerintah tetapi tidak memberikan dampak signifikan bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
Ketika era reformasi digulirkan oleh kalangan mahasiswa di Jakarta dan diikuti oleh kampus-kampus dikota yang lain, ada satu hal yang membedakan secara signifikan gerakan mahasiswa 1998 ini dengan apa yang dilakukan oleh senior-senior mereka di tahun-tahun sebelumnya. Faktor penting tersebut adalah penggunaan internet.
Secara fungsional internet adalah media pertukaran informasi yang tidak berbeda fungsinya dari sebutlah itu telepon, koran, faksimil. Tetapi internet memiliki empat karakteristik yang membuatnya menjadi superior dibanding media komunikasi lainnya. Pertama adalah biaya penggunaan yang relatif murah. Kedua adalah sifatnya yang real time. Ketiga adalah sifatnya yang tanpa batas. Tidak ada sekat-sekat ruang di media ini yang memungkinkan tiap orang dapat saling terkoneksi dengan baik. Keempat, dan ini yang paling penting, internet menyediakan ruang-ruang publik yang tidak dapat ditembus oleh otoritas penguasa. Ketika Tempo dibredel oleh Harmoko atas nama penguasa Orde Baru, bukan berarti kematian bagi Tempo. Internet lalu menjadi alternatif yang sangat jitu dalam penyebaran berita-berita politik aktual oleh Tempo.
Karakteristik-karakteristik tersebut menjadikan internet media yang paling efektif dalam gerakan reformasi tahun 1998. Berita-berita politik dapat disebar tanpa adanya hambatan dari penguasa. Aksi-aksi demokrasi dapat terkonsolidasi dengan mudah lewat penggunaan internet khususnya pengiriman surat lewat e-mail. Para pendukung gerakan reformasi mendapat feedback yang cepat melalui internet. Secara umum bahkan bisa dilihat bagaimana internet merubah perilaku individual dan sosial masyarakat khususnya di wilayah-wilayah yang memiliki infratsruktur teknologi pendukung internet yang memadai seperti di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya. Dari teknologi yang kelihatannya sepele ini, gerakan reformasi mendapat momentum politik yang besar. Kajian yang lengkap mengenai internet dan proses reformasi di Indonesia dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Merlyna Lim, kandidat doktor Science, Technology, and Society Studies (STS) University of Twente.
Tentunya internet bukanlah satu-satunya faktor teknologis yang bermain. Telepon selular dan televisi adalah faktor teknologis yang berperan cukup penting dalam akselerasi momentum politik gerakan reformasi 1998. Tetapi internetlah yang memberikan suatu kesempatan yang baru bagi para pelaku refromasi untuk saling berinteraksi secara lebih intensif.
Berkembangnya suatu teknologi adalah hasil dari konstruksi sosial. Suatu teknologi berkembang sebagai suatu hasil bentukan sosial di mana teknologi tersebut berada. Ahli teknik dan ahli desain yang merancang suatu produk teknologi “hanyalah” agen-agen teknis yang “tunduk” pada proses sosial antara produk teknologi dan masyarakat pengguna. Teknologi bukanlah suatu entitas vakum dan bebas nilai. Ketika berinteraksi dengan masyarakat pengguna, teknologi mengalami proses appropriation (diterjemahkan secara bebas sebagai penyesuaian). Appropriation adalah suatu proses pemberian makna oleh kelompok-kelompok masyarakat berdasarkan nilai-nilai serta kepentingan yang ada pada masyarakat tersebut terhadap suatu produk teknologi Pemberian makna yang beragam, baik antar individu maupun anta kelompok, menjadikan proses perkembangan (evolusi) teknologi menjadi multikultural.
Dari penjelasan ini kita bisa memahami bagaimana “nilai” suatu produk teknologi pada suatu kelompok sosial tertentu berbeda dengan kelompok sosial lainnya karena perbedaan budaya kedua kelompok tersebut Sebagai misal, kecenderungan orang Indonesia dalam memaknai produk teknologi sebagai bagian dari gaya hidup menghasilkan nilai guna yang berbeda dengan orang Eropa yang memperlakukan produk teknologi semata-mata sebagai instrumen. Contoh yang gamblang adalah telepon seluler yang bagi orang Indonesia dianggap bukan hanya sebagai alat telekomunikasi, seperti yang dilakukan oleh orang Eropa, tetapi sebagai simbol status. Perbedaan “makna” ini berimplikasi pada proses penyesuaian yang berbeda terhadap produk teknologi yang sama yang mempengaruhi proses perkembangan teknologi tersebut.
Proses penyesuaian teknologi ini terjadi dalam teknologi internet dalam kaitannya dengan proses demokratisasi di Indonesia. Setiap fungsi teknis yang terangkum dalam internet mengalami proses penyesuaian yang tidak hanya berimplikasi pada fungsi teknis, tetapi juga fungsi sosial dan politik.
Proses penyesuaian menjadi krusial ketika teknologi menjadi alat (manipulasi) politik yang ampuh. Penguasaan teknologi pencitraan melalui satelit oleh negara-negara maju adalah salah satu bukti bagaimana negara-negara tersebut mampu mendominasi konstelasi politik dunia melalui teknologi. Atau bagaimana CNN yang pro-barat dengan jaringan teknologi broadcasting yang sangat luas mampu menghegemoni berita-berita dunia. Di Indonesia, kasus penguasaan teknologi sebagai alat politik bisa dilihat ketika Golongan Karya masih berkuasa pada era Orde Baru dimana televisi dan beberapa media lainnya dijadikan alat propaganda yang ampuh.

Demokratisasi Teknologi
Isu demokratisasi dalam teknologi dapat dilihat dalam konteks proses kebijakan. Seperti telah disebutkan sebelumnya, perkembangan teknologi sedikit banyak bergantung pada kebijakan pemerintah. Dalam konteks ini, pengembangan teknologi adalah political statement dalam arti kata bahwa teknologi merupakan representasi kepentingan-kepentingan politis. Hal ini jelas terbukti pada kebijakan teknologi di beberapa negara di mana perkembangan teknologi sangat tergantung pada keputusan politik pemerintah untuk mencapai political ends tertentu atas negara lain.
Proyek pengembangan teknologi dirgantara di era Habibie adalah contoh kasus yang sangat kontekstual. Pengembangan teknologi canggih, khususnya industri dirgantara merupakan political statement untuk mengangkat citra Indonesia di mana internasional. Sebagai political statement, teknologi canggih yang dikembangkan sangat sarat dengan muatan-muatan politik yang sayangnya justru menjadikan proyek-proyek tersebut jauh dari realitas sosial ekonomi masyarakat.
Kebijakan teknologi Habibie tidak saja gagal dalam proyek pengembangan teknologi canggih, tapi juga telah mengorbankan sektor lainnya untuk berkembang karena tersedotnya dana ke sektor teknologi canggih yang menyerap dana triliunan rupiah. Pengembangan teknologi pertanian misalnya, atau jenis teknologi lainnya yang lebih menyentuh kebutuhan nyata masyarakat luas menjadi terhambat dana yang terbatas.
Kegagalan kebijakan teknologi Habibie sangat erat terkait dengan sistem politik otoriter di era Orde Baru. Kedekatan Habibie dengan Presiden Suharto menjadikan proses kebijakan teknologi menjadi sangat tertutup dan cenderung one-man-show sehingga manipulasi sangat mungkin terjadi. Ketidaktepatan kebijakan yang dibuat Habibie adalah bentuk governing mentality yang cenderung menafikan keterlibatan publik dalam proses pengambilan keputusan (Campbell, 2000).
Agenda demokratisasi teknologi di Indonesia dapat dimulai dengan transparansi proses pembuatan kebijakan teknologi. Dominasi para elit-elit teknologi yang berada dilembaga pemerintah seperti BPPT, Kementerian Riset dan Teknologi, dan berbagai bentuk dewan riset yang ada sudah selayaknya diimbangi dengan partisipasi publik secara luas.



















LIngkungan Hidup



Istilah lingkungan hidup seringkali digunakan secara silih berganti dalam pengertian yang sama, sekalipun arti lingkungan hidup dapat diberi batasan yang berbeda-beda. Masalah lingkungan telah ada dihadapan kita berkembang sedemikian cepatnya, baik di tingkat nasional maupun internasional (global dan regional) sehingga tidak ada satu negara pun dapat terhindar daripadanya. Setiap keputusan yang diambil terhadapnya menyangkut kehidupan setiap anak yang lahir kemudian. Hanya ada satu dunia dan penumpangnya adalah manusia seutuhnya.
Manusia merupakan mahluk paling penting dalam biosfer (daerah dimana terdapat makhluk hidup), namun tidak dapat dipungkiri peranan manusia terhadap lingkungan semakin dipertanyakan karena mengalami pergeseran. Dalam kaitan dengan hak atas kebebasan (tentu saja ada perbedaan yang mencolok antara hak atas kebebasan pada manusia dan mahluk hidup lainnya) mahluk hidup lain mempunyai hak atas kebebasan, paling tidak kebebasan untuk bergerak secara fisik sesuai dengan dorongan nalurinya.
Mengikuti Pertemuan Lingkungan Hidup Tingkat Dunia (Earth Summit) di Rio de Janiero 1992, Steve Lerner menghabiskan waktu 4 empat tahun untuk mencari orang-orang yang ia sebut "pemimpin hijau" (eco-pioneers) yaitu kepanduan modern yang bekerja pada tradisi pragmatis orang-orang Amerika untuk mengurangi kerusakan lingkungan yang berjalan cepat. Lerner mengajukan wajah manusia pada retorika Earth Summit, menemukan bahwa pembangunan berkelanjutan sesungguhnya terlihat seperti yang ada di Amerika Serikat. Ia melakukan studi kasus tentang "kepemimpinan hijau" yang menemukan cara-cara berkelanjutan dalam pembalakan hutan, menanam tanaman pangan, menyelamatkan spesies tumbuhan, mengelola peternakan, membangun rumah, membersihkan kota, menata ulang komunitas pedesaan, membangkitkan energi, mengonservasi air, melindungi sungai dan kehidupan liar, mengolah limbah beracun, memakai ulang material, serta mengurangi konsumsi dan limbah. Mereka bersama-sama mengkreasikan cara hidup dan bekerja, yang dipercaya oleh banyak analis adalah esensial untuk ekologi berkelanjutan di masa mendatang.
Environmentalisme (faham yang mengatakan bahwa dasar utama pembentukan pribadi seseorang adalah faktor lingkungan pergaulan) menemukan kejayaannya saat Soeharto berkuasa di Indonesia, Mahatir di Malaysia, Marcos di Filipina, Margaret Taccher di Inggris, Reagen di Amerika. Environmentalisme menjadi kekuatan penghambat kerja neoliberalisme di jaman itu. Sekalipun kejayaan kaum enviromentalis di masa itu juga tidak cukup membuktikan dapat mempertahankan kawasan hutan hujan tropis di Brazil, Indonesia, dan beberapa negara di daratan Afrika untuk tidak menyusut (saat ini Indonesia hanya memiliki kurang lebih 70 juta hektar kawasan yang berhutan, coba bandingkan dengan kondisi 10 tahun lalu).
Perubahan iklim bisa menjadi pertanda bagi masa akhir dari paham environmentalisme. Environmentalis, sebutan bagi insan yang sangat menjunjung tinggi keberlanjutan dan kelestarian lingkungan hidup. Non governmental organisation atau sering kita sebut ornop (organisasi non pemerintah), kini alias civil society organization lebih banyak bekerja di bidang-bidang lingkungan hidup, pengelolaan sumberdaya alam dan kemiskinan, HAM dan keanekaragaman hayati. Kelompok pecinta alam di berbagai universitas atau perguruan tinggi menjadi kelompok yang merintis organisasi non pemerintah yang bergerak dalam isu penyelamatan lingkungan hidup dan pengelolaan sumberdaya alam. Sebut saja semisal sejarah perjalanan WALHI, WWF (Indonesia),dan Greenpeace (Internasional), adalah trend gerakan baru bagi generasi yang "tidak percaya gerakan politik praktis" dalam membangun perubahan sosial yang maju. Environmentalisme, menyebar ke seluruh penjuru dunia setelah generasi "gemar perang" memporak-porandakan dunia. Enviromentalisme berkembang setelah perang dunia kedua berakhir. Dalam perkembangannya, paham penyelamatan lingkungan beragam aliran. Yang cukup terindentifikasi jelas ada dua aliran, pro-ecology ansih dan pro-people ansih. Dulu, sering terdengar ekspedisi-ekspedisi bebas soal kecintaan terhadap alam dan lingkungan. Tak jarang, di beberapa organisasi pecinta alam kampus ditemukan catatan-catatan ekspedisi penyelamatan ekosistem tertentu. Begitu pun dengan aktivitas-aktivitas pro-people melalui pendekatan pembangunan berwawasan penyelamatan lingkungan, dan demokratisasi pengelolaan sumberdaya alam.
Jika kita melihat kenyataan yang ada di negeri ini sangatlah ironis,hal itu terlihat tatanan lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan Indonesia berada di ambang kehancuran akibat over-eksploitasi selama 32 tahun. Berlakunya otonomi daerah dengan tidak disertai tanggung jawab dan tanggung gugat dari pelaksana negara, rakyat semakin terpinggirkan dan termarjinalkan haknya, sementara perusakan lingkungan dan sumber kehidupan berlangsung di depan mata. Keadaan ini kian memburuk seiring dengan reformasi yang setengah hati. Isu dan permasalahan lingkungan dan sumber kehidupan tidak menjadi perhatian serius para pengambil kebijakan. Akibatnya, korban akibat konflik dan salah urus kebijakan terus bertambah dan yang lebih menyedihkan sebagian besar adalah kelompok masyarakat yang rentan.
Salah urus ini terjadi akibat paradigma pembangunanisme dan pendekatan sektoral yang digunakan. Sumber-sumber penghidupan diperlakukan sebagai aset dan komoditi yang bisa dieksploitasi untuk keuntungan sesaat dan kepentingan kelompok tertentu, akses dan kontrol ditentukan oleh siapa yang punya akses terhadap kekuasaan. Masalah ketidakadilan dan jurang sosial dianggap sebagai harga dari pembangunan. Pembangunan dianggap sebagai suatu proses yang perlu kedisplinan dan kerja keras, dan tidak dipandang sebagai salah satu cara dan proses untuk mencapai kemerdekaan.
Sumber penghidupan dilihat dari nilai ekonomi yang bisa dihasilkan, sumber daya hutan disempitkan menjadi kayu, sumber daya laut hanya ikan dan sebagainya. Sumber-sumber kehidupan tidak pernah dilihat sebagai sumber penghidupan yang utuh dimana fungsi ekologi, sosial, ekonomi dan budaya melekat padanya. Akibatnya pendekatan yang digunakan dengan kerangka eksploitasi tersebut, maka negara menghegemoni rakyat dalam pengaturan sumber-sumber kehidupan. Peningkayan atau perkembangan konflik yang terkait dengan sumber-sumber penghidupan belakangan ini menjadi contoh nyata dari salah urus yang terjadi.
Menyadari kondisi yang semakin kritis tersebut, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) mengkaji kebijakan pengelolaan sumber-sumber kehidupan yang ada. Kajian tersebut difokuskan pada kebijakan nasional yang terkait dan seting kelembagaan yang ada saat ini. WALHI juga mengusulkan prasyarat kebijakan dan kelembagaan yang harus ada untuk mewujudkan pengelolaan sumber penghidupan yang lebih baik.
Mamasuki awal abad 21, negara-negara di daratan Asia Tenggara semisal Indonesia, Myanmar, Kamboja, Thailand, Malaysia, Filipina, tak terelakkan oleh krisis keuangan/ekonomi. Ilmu ekonomi dianggap telah mati, mekanisme pasar, peran kapital, peniadaan bea dan cukai serta pajak tidak dapat dikontrol. Krisis ekonomi berdampak kepada krisis politik, para pemimpin "tangan besi" di negara tersebut rontok. Instabilitas ekonomi sekaligus instabilitas politik. Reformasi dan gerakan yang serupanya di Indonesia dan negeri selingkupnya telah mendorong environmentalisme menemukan jalan buntu penyelesaian kasus-kasus kehancuran lingkungan yang semakin tidak terkontrol, terlepas sebagian gerakan ini terbuai asyik-masyuk ke jalur penegakan demokratisasi politik kekuasaan.


Illegal logging, pencemaran pantai dan laut oleh pertambangan, pemicu investasi baru di sektor perkebunan besar dan pembukaan ijin eksplorasi minyak dan gas oleh swasta asing, BUMN diprivatisasi menjadi swasta-swasta joint investment, konversi besar-besaran kawasan hutan, kota-kota kesulitan buang sampah, dll. Environmentalisme jalan dalam dua simpang gerakannya, "Politik Kekuasaan" dan "Politik Anggaran". Sementara di sisi lain, ekonomi dunia menyeret lingkungan hidup menjadi komoditas baru dalam perdagangan dunia (bisnis karbon utara-selatan).
Enviromentalisme belum tuntas menjadi gaya hidup, kini hancur pindah menjadi makna ekonomis. Dunia kembali dihebohkan oleh tiga hal klasik, energi alternatif non minyak bumi, perubahan iklim, kekurangan pangan dan kemiskinan. Ketiganya bertumpu kepada pengelolaan kawasan hutan dan soal dampak lingkungan hidup yang sedari dulu tidak bisa diminimalisir. Tiga hal ini membawa kabar buruk, dunia akan segera kiamat, 20 tahun ke depan makhluk hidup akan banyak mati (ecocide). Cadangan minyak Indonesia tidak bisa bertahan hingga 10 tahun ke depan, hingga perlu perubahan kebijakan pemanfaatan energi non-migas, berbondong-bondong hutan dibuka menjadi kebun sawit sebagai ladang untuk pengembangan biosolar. Beberapa pulau kecil di dunia dan sebagian negara maju dan makmur di Eropa, Asia dan Amerika akan tenggelam oleh mencairnya es di kutub utara dalam 1-2 dekade mendatang. Kawasan-kawasan berhutan di negara-negara selatan (kaya hutan tapi miskin) dibeli agar masih tetap mempertahankan kawasannya menjadi paru-paru dunia. Sementara, ketiadaan lahan dan hutan bagi kehidupan masyarakat adat dan lokal yang tinggal sekitarnya semakin miskin (30% penduduk miskin dari 40% angka kemiskinan menurut Bank Dunia adalah mereka yang tergantung dan tinggal di sekitar hutan), tidak mungkin tidak akhirnya kelompok manusia pinggir hutan ini menjadi manusia langka (punah mengalami homicide).
INGO, Indonesia NGO forum atau Indonesia CSO Forum (5.000 kursi dalam pertemuan COP13 di awal Desember 2007, di Bali), apa yang bisa dilakukan agar kiamat 20 tahun lagi tidak terjadi? Lobby dan kampanye adalah jalan yang mungkin bisa dilakukan di pertemuan tersebut. Apa yang bisa dilakukan oleh 5.000 orang untuk memperlambat terjadinya kiamat 2 dekade mendatang, sementara enviromentalisme mulai runtuh dan membangkitnya Teccherisme dan Reagenisme dalam politik lingkungan mutakhir? Jangan sampai 5.000 environmentalis datang ke Bali hanya untuk menyumbang emisi karbon yang justru mempercepat terjadinya kiamat oleh perubahan iklim.






Globalisasi

Globalisasi sebagai satu proses kehidupan yang serba luas dan infiniti merangkumi segala aspek kehidupan seperti politik, sosial, dan ekonomi yang boleh dirasai oleh seluruh umat manusia di dunia ini. Ini bermakna segala-galanya menjadi milik bersama dalam konsep dunia tanpa sempadan.
Globalisasi dalam arti literal adalah sebuah perubahan sosial, berupa bertambahnya keterkaitan di antara masyarakat dan elemen-elemennya yang terjadi akibat transkulturasi dan perkembangan teknologi dalam bidang transportasi dan komunikasi yang memfasilitasi pertukaran budaya dan ekonomi internasional. Istilah globalisasi dapat diterapkan dalam berbagai konteks sosial, budaya, ekonomi dan sebagainya
Dalam banyak hal, globalisasi mempunyai banyak karakteristik yang sama dengan internasionalisasi, sebagian pihak sering menggunakan istilah globalisasi yang dikaitkan dengan berkurangnya peranan negara atau batas-batas negara. Pada intinya, globalisasi ditandai dengan persaingan bebas dan persaingan global yang selanjutnya memunculkan era informasi dan era perdagangan bebas. Secara singkat ciri khas globalisai ditandai dengan :
1. Meningkatnya mobilitas manusia, barang dan jasa bahkan ide aatu kreativitas tanpa mengenal batas negara dan waktu.
2. Introduksi dan pemasaran suatu produk atau jasa dapat dilakukan serempak hampir di seluruh dunia.
3. Munculnya borderless world sehingga persaingan domestik dengan perusahaan asing semakin tak terhindarkan.
4. Munculnya ketersediaan jenis barang dan jasa serupa secara terbuka akibat adanya kompetisi sehingga sifat bisnis monopoli dan birokrat menjadi hal yang tidak popular lagi.
Dampak globalisasi juga mengakibatkan perubahan-perubahan mendasar kepada tatanan masyarakat dunia pada era tahun 2000-an. Perubahan-perubahan mendasar tersebut terjadi pada lapisan regulasi, teknologi dan bisnis.
Dalam arus globalisasi tidak dapat lepas dari adanya keterkaitan baik negara bangsa maupun korelasinya dengan berbagai aspek di luar negara bangsa tersebut. Dalam hubungannya tercipta suatu bentuk yang menjadi sarana dalam mewujudkan globalisasi itu sendiri. salah satu bentuk adalah Komunikasi Internasional. Menurut Drs. T. May Rudy, SH.,MIR.,M.Sc.:
“Komunikasi Internasional adalah komunikasi yang ruang lingkupnya melintasi bata-batas wilayah negara dan menyangkut interaksi / hubungan cukup luas dan intens dengan bangsa lain.”
Dapat juga kita definisikan sebagai proses komunikasi yang berlangsung atau dilakukan antara komunikator yang mewakili suatu negara atau bangsa untuk menyampaikan pesan-pesan yang berkaitan dengan berbagai kepentingan negara atau masyarakat di negaranya kepada komunikan yang mewakili negara lain degan tujuan untuk memberi tahu ataupun sebaliknya.
Kegiatan Komunikasi Iternasional sebenarnya lebih luas karena meliputi kegiatan menumbuhkan, memelihara, atau meningkatkan citra (images) serta memperoleh dukungan yang lebih luas terhadap program, kondisi, atau kegiatan tertentu. Bergagai kunjungan kenegaraan (muhibah), kunjungan wisata, keikutsertaan dalam konferensi internasional atau events olahraga (Olympiade, Asian Games, dsb) dan kesenian internasional (Festifal film, lagu, tarian, musik, dsb) merupakan kegiatan komunikasi internasional. Jadi, berbagai kegiatan untuk saling mengenal lebih dekat atau memperkenalkan diri (negara, bangsa, kelompok, organisasi, perusahaan) merupakan bagian dari komunikasi internasional.
Pada masa lampau, komunikasi Internasional lazim dilakukan oleh para utusan atau diplomat (perwakilan diplomatik dan konsuler) yang mewakili pemerintah. Bisa juga dengan cara kepala negara mengunjungi negara lain dan berdialog dengan kepala negara atau kepala pemerintahan yang bersangkutan. Namun dalam perkembangannya, komunikasi internasional mencangkup pula komunikasi yang dilakukan oleh pihak swasta serta kalangan bisnis (untuk kepentingan perusahaan-perusahaan), seniman, ilmuwan, tokoh organisasi massa, dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat.
Kegiatan (proses) komunikasi internasional berisi pesan atau informasi tentang berbagai kondisi dan perkembangan di negara yang bersangkutan beserta masyaraktnya untuk diketahui secara luas oleh masyarakat di kawasan lain. Dapat dengan menggunakan bentuk komunikasi interpersonal (antara perorangan), Organisasional (komunikasi kelompok), dan komunikasi massa. Oleh karena itu, komunikasi internasional merupakan bagian penting dalam hubungan internasional dan merupakan suatu teknkik dari pelaksanaan kebijakan Luar Negeri masing-masing negara. Komunikasi Internasional memiliki berbagai fungsi, yaitu sebagai berikut:
1. Mendinamisasikan hubungan (internasional) yang terjalin antara dua negara atau lebih serta hubungan di berbagai bidang antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda negara atau berbeda kebangsaan (kewarganegaraan)
2. Membantu atau menunjang upaya-upaya pencapian tujuan Hubungan Internasional dengan meningkatkan kerja sama internasional serta menghindari terjadinya konflik atau kesalahpahaman baik antara pemerintah dengan pemerintah (government to government) maupun antara penduduk dengan penduduk (people to people).
3. Merupakan teknik untuk mendukung pelaksanaan politik luar negeri bagi masing-masing negara atau untuk memperjuangkan pencapaian kepentingan-kepentingannya di negara-negara lain.
Pelaksanaan kegiatan Komunikasi Internasional dapat ditinjau melalui empat sudut pandang atau pendekatan, meliputi: “ Perspektif Diplomatik, Perspektif Jurnalistik, Perspektif Propagandistik, Perspektif Bisnis.”
Perspektif Diplomatik lebih banyak dipergunakan untuk meningkatkan komitmen kerja sama, memperluas pengaruh, dan menanggulangi atau mengatasi perbedaan pendapat, salah paham, salah pengertian, sampai menghindari pertentangan (konflik) dalam maslah tujuan dan kepentingan setiap negara. Berlangsungnya komunikasi internasional dalam perspektif diplomatik ini merupakan upaya untuk membina rasa saling percaya atau memperteguh keyakinan (confidence building) . selain untuk menghindari konflik, tujuan komunikasi internasional adalah untuk mengembangkan kerja sama baik dalam hubungan bilateral maupun hubungan multilateral, memperkuat posisi tawar (bargaining position) serta meningkatkan citra dan reputasi suatu negara.
Sebagai contoh, pertemuan Paris Club antara pejabat tinggi Indonesia dengan pejabat tinggi dari negara-negara donor untuk memperoleh tambahan pinjaman (hutang) luar negeri. Kunjungan menteri luar negeri Inggris (Jack Straw) ke Indonesia (11-12 Januari 2003) untuk menjelaskan bahwa sesungguhnya pemerintah Inggris tidak berniat memusuhi Islam, tetapi ada alasan lain (antara lain ancaman persenjataan nubika) sehingga Inggris memberidukungan kepada rencana AS menyerang Irak.
Dalam area hubungan Internasional dalam bidang diplomasi, aspek komunikasi internasional melalui perspektif diplomatik ini lazim digolongkan ke dalam first track diplomacy (diplomasi jalur pertama). Namun untuk contoh kunjungan duta besar AS ke panti sosial, masjid, pesantren, memang dilakukan oleh pejabat perwakilan diplomatik, tetapi tergolong second track diplomacy yaitu berhubungan langsung dengan penduduk atau masyarakat setempat.
Perspektif Jurnalistik merupakan kegiatan komunikasi internasional berupa pertukaran informasi, menemukan peluang-peluang kerjasama atau meningkatkan kunjungan wisata, lazimnya dilakukan melalui saluran media cetak dan media elektronik. Kegiatan komunikasi internasional berdasar perspektif jurnalistik sesungguhnya berlangsung wajar, objektif, alami, dan bermakna positif. Sekurang-kurangnya, kegiatan ini bersifat netral. Walaupun terdapat kemungkinan digunakan untuk tujuan atau kepntingan propaganda dengan tujuan akhir untuk mengubah kebijakan dan kepentingan suatu negara atau memperlemah posisi lawan.
Contoh jurnalistik subjektif yang bersifat propaganda; pemerintas AS memanfaatkan media cetak dan elektronik (pers internasional) sebagai alat propagandanya sendiri pada masyarakat dunia pasca tragedi 11 september 2001. Tujuannya adalah untuk menciptakan opini publik (internasional) yang membawa dampak yang menguntungkan bagi AS sendiri, dengan mengunakan alasan penumpasan terorisme untuk melakukan intervensi di Afganistan (2001-2002) dan kemudia melakukan pemboman wilayah Irak (periode Agustus – September 2002).
Perspektif Propagandistik dalam komunikasi internasional ditujukan untuk menanamkan gagasan-gasan tertentu kedalam benak masyarakat pada negara lain atau bahkan pada masyarakat internasional secara keseluruhan. Propaganda dipacu sedemikian kuat, bukan sekedar mengarahkan opini publik, tetapi agar dapat mempengaruhi pemikiran, perasaan, serta tindakan pemerintah dan publik di negara-negara lain.
Propaganda bisa hanya dirancang atau diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu yang terbatas dan berjangka pendek, misalnya upaya AS menghalangi niat negara-negara anggota Uni Eropa membuka hubungan dagang dengan Kuba. Dapat pula untuk tujuan lebih luas dan strategis yang mencangkup perolehan, penguatan, serta perluasan dukungan dari rakyat dan pemerintah sahabat, untuk melaksanakan gagasan tertentu atau untuk menghadapai lawan. Misalnya AS mempropagandakan dirinya sebagai pelopor dan benteng demokrasi.selain itu, propaganda juga isa bertujuan mempertajam atau mengubah sikap dan cara pandang suatu gagasan atau peristiwa atau kebijakan luar negeri tertentu.
Perspektif Bisnis merupakan komunikasi internasional menyangkut promosi bisnis serta produk (ekspor) yang berupaya merangkul baik pemerintah maupun pihak swasta negara lain untuk melakukan transaksi-transaksi bisnis. Para pelaku (aktor) pada umumnya adalah kalangan bisnis. Sekurang-kurangnya komunikator adalah kalangan bisnis (pengusaha ataupun produsen). Sedangkan komunikan (public, audiences) bisa saja pejabat-pejabat instansi pemerintah, kalangan bisnis, dan masyarakat umum di negara-negara lain. Bentuk pelaksanaannya berupa mengadakan atau mengikuti acara pameran internasional (international fair), mengirimkan brosur-brosur penawarann produk, memasang iklan di media massalain, mengundang pengusaha dan wartawan dari negara lain untuk berkunjung, dan lain sebagainya.



Civil Society ( Masyarakat Sipil )

Dalam masyarakat Barat, civil society sebenarnya adalah konsep lama yang dilupakan. Ia mulai diungkap lagi dalam kaitannya dengan perkembangan masyarakat di Eropa Timur di bawah rezim sosialis. Para sarjana di Barat mula-mula melihat konsep itu dalam gejala pergerakan Serikat Buruh Solidaritas yang bangkit melawan negara. Dalam sistem sosialis, kehadiran dan peranan negara sangat kuat. Dimana Negara sangat kuat dan mendominasi kehidupan individu dan masyarakat, maka sulit dibayangkan adanya apa yang disebut civil society.
Dalam perspektif Islam, civil society lebih mengacu kepada penciptaan peradaban. Kata al din, atau agama, berkaitan dengan makna al tamaddun, atau peradaban. Keduanya menyatu ke dalam pengertian al madinah yang arti harfiahnya adalah kota. Dengan demikian, maka civil society diterjemahkan sebagai "masyarakat madani", yang mengandung tiga hal, yakni agama, peradaban dan perkotaan. Di sini, agama merupakan sumber, peradaban adalah prosesnya, dan masyarakat kota adalah hasilnya. Meskipun begitu, di kalangan umat Islam, bisa terjadi perbedaan interpretasi mengenai masyarakat madani ini. Perbedaan tersebut timbul dari perbedaan interpretasi tentang apa yang dimaksud dengan masyarakat unggul (al khair al ummah). Ia bisa diartikan sebagai masyarakat sipil, bisa pula negara. Tetapi jika kita kembali kepada pengertian masyarakat madani, yang merupakan pemikiran baru di zaman modern ini, maka masyarakat madani mencakup masyarakat sipil maupun negara.
Istilah masyarakat sipil bagi sebagian besar masyarakat Indonesia merupakan istilah baru. Masyarakat madani sukar tumbuh dan berkembang pada rezim Orde Baru karena adanya sentralisasi kekuasaan melalui korporatisme dan birokratisasi di hampir seluruh aspek kehidupan, terutama terbentuknya organisasi-organisasi kemasyarakatan dan profesi dalam wadah tunggal, seperti MUI, KNPI, PWI, SPSI, HKTI, dan sebagainya. Organisasi-organisasi tersebut tidak memiliki kemandirian dalam pemilihan pemimpin maupun penyusunan program-programnya, sehingga mereka tidak memiliki kekuatan kontrol terhadap jalannya roda pemerintahan.

Hanya beberapa organisasi keagamaan yang memiliki basis sosial besar yang agak memiliki kemandirian dan kekuatan dalam mempresentasikan diri sebagai unsur dari masyarakat madani, seperti Nahdlatul Ulama (NU) yang dimotori oleh KH Abdurrahman Wahid dan Muhammadiyah dengan motor Prof. Dr. Amien Rais. Pemerintah sulit untuk melakukan intervensi dalam pemilihan pimpinan organisasi keagamaan tersebut karena mereka memiliki otoritas dalam pemahaman ajaran Islam. Pengaruh politik tokoh dan organisasi keagamaan ini bahkan lebih besar daripada partai-partai politik yang ada.
NU adalah komunitas yang tidak sepenuhnya terakomodasi dalam negara, bahkan dipinggirkan dalam peran kenegaraan. Di kalangan NU dikembangkan wacana civil society yang dipahami sebagai masyarakat non-negara dan selalu tampil berhadapan dengan negara. Kalangan muda NU begitu keranjingan dengan wacana civil society, lihat mereka mendirikan LKIS yang arti sebenarnya adalah Lembaga Kajian Kiri Islam, namun disamarkan keluar sebagai Lembaga Kajian Islam.
Kebangkitan wacana civil society dalam NU diawali dengan momentum kembali ke khittah 1926 pada tahun 1984 yang mengantarkan Gus Dur sebagai Ketua Umum NU. Gus Dur memperkenalkan pendekatan budaya dalam berhubungan dengan negara sehingga ia dikenal sebagai kelompok Islam budaya, yang dibedakan dengan kelompok Islam Politik. Dari kandungan NU lahir prinsip dualitas Islam-negara, sebagai dasar NU menerima asas tunggal Pancasila. Alasan penerimaan NU terhadap Pancasila berkaitan dengan konsep masyarakat madani, yang menekankan paham pluralisme, yaitu: (1) aspek vertikal, yaitu sifat pluralitas umat (QS al-Hujurat 13) dan adanya satu universal kemanusiaan, sesuai dengan Perennial Philosophy (Filsafat Hari Akhir) atau Religion of the Heart yang didasarkan pada prinsip kesatuan (tawhid); (2) aspek horisontal, yaitu kemaslahatan umat dalam memutuskan perkara baik politik maupun agama; dan (3) fakta historis bahwa KH A. Wahid Hasyim sebagai salah seorang perumus Pancasila, di samping adanya fatwa Mukhtamar NU 1935 di Palembang (Ismail, 1999: 17).
Terpilihnya Gus Dur sebagai presiden sebenarnya menyiratkan sebuah problem tentang prospek masyarakat madani di kalangan NU karena NU yang dulu menjadi komunitas non-negara dan selalu menjadi kekuatan penyeimbang, kini telah menjadi “negara” itu sendiri. Hal tersebut memerlukan identifikasi tentang peran apa yang akan dilakukan dan bagaimana NU memposisikan diri dalam konstelasi politik nasional, maka NU harus memerankan fungsi komplemen terhadap tugas negara, yaitu membantu tugas negara ataupun melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh negara, misalnya pengembangan pesantren. Sementara, Gus Dur harus mendukung terciptanya negara yang demokratis supaya memungkinkan berkembangnya masyarakat madani, dimana negara hanya berperan sebagai ‘polisi’ yang menjaga lalu lintas kehidupan beragama dengan rambu-rambu Pancasila (Wahid, 1991: 164).
Misi organisasi-organisasi keagamaan adalah menciptakan suatu masyarakat etis. Khusus di lingkungan Islam, corak masyarakat yang diatur oleh hukum (rule of law) sangat ditekankan. Cita "Negara Islam" atau "Masyarakat Islam", menurut Mohammad Rasyidi, adalah nomokrasi, yakni sebuah negara dan masyarakat yang mengacu kepada norma-norma hukum. Dalam negara integralistik, nilai-nilai keagamaan dapat dan bebas untuk diperjuangkan. Tetapi wujud hasilnya adalah sebuah hukum nasional. Hanya dalam bidang-bidang tertentu saja, misalnya dalam hukum keluarga, agama Islam diizinkan untuk diberlakukan secara otonom di kalangan umatnya. Tetapi hukum Islam itupun tampil sebagai bagian dari hukum nasional. Akibatnya, timbul kecenderungan untuk menguasai negara atau memperjuangkan nilai-nilai yang dianut oleh suatu kelompok agama melalui negara. Misalnya umat Islam memperjuangkan hukum larangan riba menjadi bagian dari UU Perbankan atau hukum halal-haram ke dalam UU Pangan.
Salah satu ide penting yang melekat dalam konsep civil society adalah keinginan memperbaiki kualitas hubungan antara masyarakat dengan institusi sosial yang berada pada: sektor publik (pemerintah dan partai politik), sector swasta (pelaku bisnis) dan sektor sukarela (lembaga swadaya masyarakat, organisasi keagamaan dan kelompok profesional).1 Secara politis, melalui konsep civil society dapat diciptakan bentuk hubungan yang kurang lebih semetris, sehingga kondusif bagi terciptanya demokrasi. Ide civil society menghendaki institusi-institusi yang berada pada sektor publik, sector swasta maupun sektor sukarela adalah berbentuk forum-forum yang representatif atau berupa asosiasi-asosiasi yang jelas arahnya dan dapat dikontrol. Forum atau asosiasi semacam itu bersifat terbuka, inklusif dan harus ditempatkan sebagai mimbar masyarakat mengekspresikan keinginannya. Peranan agama yang kuat seperti di Indonesia, sangat mendukung cita Negara-Idealis. Di sini, negara dipandang sebagai wadah dan sekaligus perwujudan nilai-nilai luhur yang bersumber pada agama. Itulah yang menjelaskan mengapa di Indonesia, demokrasi diberi predikat Pancasila. Karena demokrasi yang dikehendaki berlaku di Indonesia adalah demokrasi untuk merealisasikan nilai-nilai luhur Pancasila.
Seperti dikatakan Gramsci, negara juga mempunyai peranan dalam pembinaan masyarakat. Di Indonesia, negara, secara tidak langsung ikut membentuk masyarakat sipil. Setidak-tidaknya, melalui pembangunan, terutama sejak Orde Baru, negara telah mengangkat individu-individu untuk memasuki masyarakat ekonomi yang kompetitif. Sementara itu, tradisi gerakan kemasyarakatan, agaknya tidak hilang begitu saja, bahkan mengalami revitalisasi. Organisasi-organisasi kemasyarakatan, merasa tidak cukup puas dengan peranan negara. Hal ini ikut menjelaskan gejala lahirnya LSM sebagai kekuatan pengimbang dan kekuatan yang memberdayakan masyarakat-masyarakat marjinal. Disamping itu tampak menguatnya peranan negara, kita melihat pula perkembangan masyarakat sipil. Tapi kita juga melihat gejala ketiga, yakni pengeintegrasian agama ke dalam negara, sebagai dampak dari pelaksanaan cita negara integralistik. Tendensi ini datang dari kedua belah pihak. Disatu pihak, agama tidak mau dan ingin menghindari konfrontasi dengan negara, dan jika bisa, memanfaatkan sumberdaya negara. Di lain pihak, negara tidak menghendaki timbulnya masyarakat sipil yang bisa merongrong legitimasi negara. Agama di Indonesia, mengambil peranan penting dalam membentuk masyarakat sipil, khususnya sebagai masyarakat politik. Perkembangan masyarakat sipil ini ternyata lebih cepat dari pada perkembangan masyarakat ekonomi. Sebagai dampaknya, peranan negara lebih menonjol dan justru mengambil peran sebagai agen perubahan sosial yang berdampak terbentuknya masyarakat sipil, dari arti mencakup masyarakat politik maupun ekonomi.
Kecenderungan yang dominan di Indonesia adalah idealisasi negara, sebagai wadah nilai-nilai tertinggi. Perjuangan organisasi-organisasi keamanan ikut mendorong terbentuknya Negara-Ideal, atau Negara-Integralistik sebagai kompromi dari konflik antara sekularisme dan teokrasi. Dalam Negara-Ideal tersebut, agama dicegah untuk dominan dalam mewarnai corak negara, tetapi diberi kesempatan untuk masuk dan membentuk nilai-nilai ideal itu ke dalam wadah negara.

Hak Asasi Manusia ( The Human Rights )

Hak asasi manusia adalah hak-hak yang telah dimiliki seseorang sejak ia lahir dan merupakan pemberian dari Tuhan. Dasar-dasar HAM tertuang dalam deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat (Declaration of Independence of USA) dan tercantum dalam UUD 1945 Republik Indonesia, seperti pada pasal 27 ayat 1, pasal 28, pasal 29 ayat 2, pasal 30 ayat 1, dan pasal 31 ayat 1.
Seseorang yang melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap orang lain yang melanggar terhadap hak-hak yang dimiliki seseorang merupakan tindakan yang melanggar hak asasi manusia pelanggaran yang terjadi akan kenakan tindakan hukuman yang sesuai berdasarkan pelanggaran terhadap orang tersebut.kasus-kasus yang sering terjadi dimana seseorang melanggar terhadap hak asasi manusia seperti pembunuhan,penganiayaan,merampas hak orang lain merupakan sesuatu yang dapat dikatakan sebagai pelanggaran hak asasi manusia.memaksakan kehendak terhadap orang lain ,tidak memberikan kebebasan terhadap seseorang untuk pemeluk agama lain,tidak memberikan seseorang dalam memperjuangkan dalam mengeluarkan pendapat adalah juga merupakan pelanggaran hak asasi manusia.
Dalam hak asasi manusia digunakan didalam suatu perlindungan terhadap seseorang dari pelaku menyimpang terhadap orang lain baik berskala kecil maupun berskala besar pelakuan yang tidak sama dalam hukum ini yang akan menimbulkan adanya perbedaaan terhadap seseorang dengan orang lain dengan lahirnya bermacam macam pengakuan terhadap hak asasi manusia akan dapat melindungi seseorang dari kejahatan dan perlakuan yang tidak sama terhadap seseorang.contoh pelanggaran ham :
Perbedaaan antara kulit hitam dan putih dalam kehidupan dan pelakuan yang tidak sama terhadap ras kulit hitam di amerika serikat memunculkan adanya perbedaaan dalam kehidupan penegakan akan kehidupan manusia terjadi perbedaan yang menyolok.
· Tidak memberikan kebebasaan terhadap orang lain dalam memeluk agama lain terjadi pada masa firaun yang mana seorang penguasa sebuah negara memaksakan kehendaknya untuk memeluk agamanya.
· Pengunaan kekekerasan terhadap anak-anak oleh orang tuanya kepada anaknya yang terjadi di Indonesia yang disertai penganiayaan.
· Tenaga kerja Indonesia yang mendapat pelakuan yang tidak manusiawi dari negaranya berkerja yang merupakan tidak adanya perlakuan yang mencermikan hak kehidupan orang.
· Pembunuhan yang terjadi dicina dimana ribuan mahasiswa dibunuh dalam mengeluarkan pendapat.
Penguanaan kekuasaan yang sewenang wenang dimasa kekuasaan Elisabeth diperancis.
· Perbedaaan ras yang terjadi di afrika dimana kulit putih dan kulit hitam kulit hitam dipelakuan tidak sama.Pembantaian etnis yang terjadi di Afrika.
Dalam pengertian sebagai upaya penegakan harga diri manusia dan keadilan social,perjuangan bagi Hak-hak Manusia (HAM) telah berlangsung sepanjang umat manusia.

Bahwa hak asasi manusia merupakan pemberian dari tuhan yang harus kita lindungi dari kejahatan-kejahatan yang tidak berprikemanusiaan kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh manusia harus diberi hukuman yang setimpal terhadap apa yang dilakukan kepada orang lain dengan kata lain bahwa perlakuan yang tidak sesuai/menyimpang terhadap orang lain, sewenang-wenang,menyiksa,membunuh,merampas hak orang lain harus dihukum sesuai dengan perbuatannya.